Jakarta - Bank Indonesia tidak memberikan pengecualian dalam penerapan aturan kepemilikan tunggal atau Single Presence Policy (SPP) bagi perbankan, baik untuk bank swasta maupun bank pemerintah.
"Single Presence Policy itu kewajiban berlaku umum, tidak hanya untuk bank swasta tapi semua bank. Segalanya kena, kita tidak bisa diskriminatif," kata Direktur Penelitian dan Pengawasan Perbankan BI Halim Alamsyah di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (15/01/2010).
Aturan SPP adalah aturan yang diberlakukan bagi bank yang memiliki pemegang saham pengendali yang sama untuk menggabungkan bank atau melepas kepemilikan saham mayoritas di salah satu bank. Dengan aturan ini, satu pemegang saham tidak bisa menjadi pemegang saham pengendali pada dua bank yang berbeda.
Batas akhir pemenuhan ketentuan SPP adalah 31 Desember 2010. Tapi, Halim mengatakan, bagi bank yang dalam memnuhi aturan SPP ini memiliki proses yang kompleks, misalnya bank BUMN, sesuai aturannya akan diberikan waktu lebih panjang.
"Di dalam PBI tentang SPP, kalau itu proses yang rumit, bisa diberikan jangka waktu yang lebih panjang," ujarnya.
Bank-bank BUMN, lanjut Halim, memang tidak semudah bank swasta, berdasarkan birokrasi harus meminta persetujuan DPR terlebih dahulu. Ditambah masalah struktur governance yang juga berpengaruh.
"Kita maklumi untuk bank BUMN ini memang agak lama,tapi tidak menutup regulasi karena (ketentuan ini) sudah berlaku dan sudah diikuti oleh bank-bank lainnya," papar Halim.
Halim menambahkan, dengan berlakunya SPP, BI tidak akan mengubah regulasi yang sudah ada dan berjalan saat ini. "Kalau BI mengubah regulasi itu kan harus melihat dampaknya kepada perbankan," sambungnya.
Menurut Halim, SPP adalah proses yang dilakukan untuk menuju penguatan struktur perbankan, mendorong efisiensi perbankan. " Dan juga mencoba menciptakan bank yang berkualitas dan punya peran yang besar dalam ekonomi kita," pungkasnya.
by detik finance
ANM World Wide

Earth
Minggu, 17 Januari 2010
Belanja Iklan Dunia di 2010 Bakal Merayap Naik
Jakarta - Asosiasi Periklanan Dunia (International Advertising Association/IAA) memperkirakan belanja iklan dunia pada tahun 2010 akan mengalami kenaikan menyusul mulai pulihnya ekonomi dunia. Pada tahun 2008 lalu belanja iklan dunia sempat tembus hingga US$ 745 miliar, yang kemudian mengalami kenaikan tipis di 2009 dan pada tahun ini diperkirakan bisa mendekati US$ 800 miliar.
Ketua Asosiasi Periklanan Dunia Indra Abidin mengatakan kenaikan tahun iniakan didorong dari pertumbuhan di wilayah-wilayah utama di Asia seperti China, India termasuk Indonesia. Sedangkan negara-negara di dunia lainnya seperti AS, Eropa bahkan Jepang dan Korea masih dibayang-bayangi pertumbuhan negatif.
"Untuk pertumbuhan belanja iklan dunia masih tumbuh, tapi tidak sebesar Asia, terbesar pertumbuhan di India, China dan Indonesia," katanya saat dihubungi detikFinance, Minggu (17/1/2010).
Ia menjelaskan khusus untuk pertumbuhan belanja iklan di Tanah Air, bukan hanya ditopang oleh geliat ekonomi berbagai sektor namun faktor pemilihan umum (pemilu) terutama di berbagai daerah menjadi fenomena tersendiri yang turut mendorong.
"Tahun 2010 diperkirakan pertumbuhan bisa mencapai 15% karena ekonomi tumbuh akan 5,5%. Ditopang juga oleh sektor properti, keuangan, telekomunikasi," jelas Indra.
Ia memperkirakan belanja iklan nasional pada tahun 2010 akan mendekati Rp 49 triliun terutama masih didongkrak dari sebaran media televisi, majalah dan koran, iklan luar ruangan, media digital dan situs jejaring sosial. Angka ini relatif lebih tinggi dari capaian tahun 2009 yang mencapai Rp 44-45 triliun, yang salah satu kontribusi perolehannya dari penyelenggaraan pemilu termasuk pilkada.
"Saya melihat memang untuk pilkada menjadi hal yang baru, sebagai pemasaran sosial,"katanya.
by detik finance
Ketua Asosiasi Periklanan Dunia Indra Abidin mengatakan kenaikan tahun iniakan didorong dari pertumbuhan di wilayah-wilayah utama di Asia seperti China, India termasuk Indonesia. Sedangkan negara-negara di dunia lainnya seperti AS, Eropa bahkan Jepang dan Korea masih dibayang-bayangi pertumbuhan negatif.
"Untuk pertumbuhan belanja iklan dunia masih tumbuh, tapi tidak sebesar Asia, terbesar pertumbuhan di India, China dan Indonesia," katanya saat dihubungi detikFinance, Minggu (17/1/2010).
Ia menjelaskan khusus untuk pertumbuhan belanja iklan di Tanah Air, bukan hanya ditopang oleh geliat ekonomi berbagai sektor namun faktor pemilihan umum (pemilu) terutama di berbagai daerah menjadi fenomena tersendiri yang turut mendorong.
"Tahun 2010 diperkirakan pertumbuhan bisa mencapai 15% karena ekonomi tumbuh akan 5,5%. Ditopang juga oleh sektor properti, keuangan, telekomunikasi," jelas Indra.
Ia memperkirakan belanja iklan nasional pada tahun 2010 akan mendekati Rp 49 triliun terutama masih didongkrak dari sebaran media televisi, majalah dan koran, iklan luar ruangan, media digital dan situs jejaring sosial. Angka ini relatif lebih tinggi dari capaian tahun 2009 yang mencapai Rp 44-45 triliun, yang salah satu kontribusi perolehannya dari penyelenggaraan pemilu termasuk pilkada.
"Saya melihat memang untuk pilkada menjadi hal yang baru, sebagai pemasaran sosial,"katanya.
by detik finance
Langganan:
Postingan (Atom)