ANM World Wide

ANM World Wide
Earth

Minggu, 25 Oktober 2009

Menteri Ekonomi Beberkan Program 100 Hari Kerja

JAKARTA, KOMPAS.com — Beberapa menteri bidang perekonomian membeberkan program 100 hari kerjanya.

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto akan memprioritaskan untuk merevisi peraturan-peraturan yang selama ini dinilai menghambat pelaksanaan program infrastruktur, seperti masalah pembebasan tanah ataupun soal investasi dalam jalan tol.

"Kami akan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan ke arah yang bisa diselesaikan. Ada beberapa peraturan yang perlu diperbaiki, tetapi detailnya nanti," ujarnya di sela rapat koordinasi jajaran Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Sabtu (24/10).

Ini adalah rapat perdana jajaran menteri bidang perekonomian. Rapat dihadiri 13 menteri dan dipimpin langsung oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa.

Sementara itu, Menteri Perindustrian MS Hidayat menyatakan akan menerbitkan peraturan-peraturan guna membuka jalan bagi pertumbuhan infrastruktur. Kemudian, sebagai pekerjaan rumah pada satu tahun masa kerjanya, pihaknya akan mengevaluasi beberapa peraturan yang dianggap masih menghambat berlangsungnya proses perizinan serta pertumbuhan sektor industri manufaktur. "Yang ini mau diprogramkan dalam tempo satu tahun," cetusnya.

Adapun Menneg Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Syarifuddin Hasan siap mengucurkan dana Rp 20 triliun untuk meneruskan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada 100 hari kerjanya. Di samping itu, pihaknya juga akan menciptakan lebih banyak tenaga enterpreneur baru dan pelaku bisnis.

Hatta Rajasa menjelaskan, program 100 hari para menteri ini merupakan salah satu kontrak kerja yang dibuat kepada Presiden. Para menteri ini dituntut untuk memenuhi kontrak kerja tersebut. "Tentu kawan-kawan ini (para menteri) sudah memiliki program pada saat menandatangani kontrak kinerja, di situ sudah ada program-program yang harus dicapai, yang sudah di-commit menteri-menteri waktu itu di depan Bapak Presiden," tuturnya.

Pertahanan Keuangan Nasional Rentan Krisis

JAKARTA, KOMPAS.com - Gagalnya penetapan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan akan menjadi kelemahan mendasar dalam sistem pertahanan keuangan nasional.

Demikian disampaikan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Menurut ISEI, kelengkapan perundang-undangan akan menangkal sektor keuangan nasional dari deraan krisis moneter, seperti yang terjadi pada tahun 1998 dan 2008.

”UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan tidak jadi disahkan, padahal itu bagian dari upaya kita menjawab tekanan krisis. UU itu akan mengatur siapa melakukan apa, kapan, dan bagaimana sehingga saat krisis terjadi, semuanya bisa diantisipasi,” ujar Ketua Umum ISEI Darmin Nasution di Jakarta, Kamis (15/10), seusai rapat Pengurus Pusat ISEI.

Darmin, yang juga Penjabat Gubernur Bank Indonesia, menjelaskan, krisis keuangan akhir 2008 bisa diredam karena Indonesia memiliki Lembaga Penjamin Simpanan. Saat krisis tahun 1998, Indonesia belum memiliki Lembaga Penjamin Simpanan sehingga penanganan krisis lemah.

Di sisi lain, Darmin mengingatkan lemahnya industri nasional, terutama dalam memproduksi barang modal dan bahan baku. Setiap ada investasi masuk, nilai impor meningkat karena pasokan barang modal dan bahan baku tidak tersedia di Indonesia.

Sementara itu, dalam Road Map Pembangunan Ekonomi 2010-2014 yang disusun Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, diperkirakan potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2010-2014 sebesar 6,3-6,9 persen per tahun.

”Terbukanya ruang bagi pertumbuhan ekonomi itu dipengaruhi prospek pemulihan ekonomi dunia dan membaiknya iklim politik dengan adanya kabinet pemerintahan baru,” ujar Faisal Basri, Tim Ahli Ekonomi Kadin.

Kebutuhan dana investasi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi itu Rp 2.855 triliun-Rp 2.910 triliun per tahun. Namun, dana yang mampu disediakan pemerintah hanya 13 persen dari kebutuhan. Sebanyak 87 persen sisanya harus dihimpun dari swasta domestik, yakni bank, nonbank, dan pasar modal.

Guna meningkatkan sumber pembiayaan dari APBN, ujar Faisal, rasio pajak harus ditingkatkan, dari rata-rata 12 persen dari produk domestik bruto menjadi 15 persen pada tahun 2014.

Menurut Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Sandiaga S Uno dalam kunjungan ke sejumlah usaha mikro di Cileungsi, Bogor, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pelaku UMKM harus menjadi target utama.

”Jumlah mereka 51 juta. Tak bisa lagi hanya menggunakan pendekatan kredit perbankan. Mereka harus dibuat naik kelas dari kondisi usahanya,” katanya.(OIN/LKT/OSA)

Penguatan Rupiah Haruskah Dikhawatirkan?

KOMPAS.com — Banyak yang terperanjat melihat kurs rupiah menguat kencang terhadap dollar Amerika Serikat dalam dua minggu terakhir, dari Rp 9.615 (per akhir September) menjadi Rp 9.330 per dollar AS (per 16 Oktober). Sejak awal tahun, apresiasi rupiah telah mencapai 17 persen. Tiga persen terjadi dalam satu bulan terakhir.

Secara garis besar, penyebab penguatan rupiah dapat dikategorikan menjadi dua faktor, yakni eksternal dan internal. Faktor eksternal, penguatan rupiah karena pelemahan dollar AS secara umum. Saat ini dollar AS tidak diminati karena fundamental ekonomi AS sedang buruk.

Dari faktor internal, penguatan rupiah didorong oleh fundamental ekonomi Indonesia saat ini yang ”relatif” lebih baik dibandingkan dengan negara maju yang masih resesi.

Sejak awal Maret 2009, investasi dalam dollar AS mulai ditinggalkan investor akibat kondisi ekonomi AS yang buruk. Untuk stimulus ekonomi, defisit anggaran Pemerintah AS sudah mencapai 12 persen terhadap PDB (jauh di atas posisi aman, yakni 3 persen PDB). Rasio utang Pemerintah AS meningkat drastis ke 94 persen.

Agar ekonominya tumbuh, suku bunga bank sentral AS dipaksa tetap rendah, yaitu hanya 0,25 persen dan imbal hasil (yield) surat utang Pemerintah AS juga dipaksa relatif rendah, hanya 3,3 persen. Namun, akibatnya, bagi investor tak menguntungkan memegang dollar AS.

Indonesia telah menunjukkan diri sebagai salah satu negara yang dapat bertahan dalam krisis ekonomi 2008. Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan mencapai 4,3 persen dan tahun depan naik ke sekitar 5,5 persen.

Inflasi pada tahun ini diperkirakan hanya sekitar 4 persen dan tahun depan sedikit meningkat ke 6 persen. Defisit anggaran pemerintah dikelola dengan hati-hati, yaitu 2,5 persen PDB di tahun ini, dan tahun depan diturunkan ke 1,6 persen PDB. Di sisi ekspor, meskipun kinerja menurun, tahun ini neraca berjalan diperkirakan masih surplus 1 persen PDB, dan tahun depan, walaupun impor meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, neraca berjalan diperkirakan masih tetap surplus 0,2 persen PDB.

Performa positif yang ditunjukkan Indonesia di tengah krisis menarik minat investor asing. Lembaga pemeringkat Moody’s telah menaikkan peringkat kredit Indonesia dari Ba3 ke Ba2.

Dengan demikian, tidak mengherankan jika dana asing mengalir deras ke Indonesia dan diperkirakan masih akan berlanjut. Memang dana yang masuk kebanyakan bersifat jangka pendek (hot money), belum dalam bentuk penanaman modal asing langsung.

Investor asing membeli aset finansial seperti saham, Surat Utang Negara (SUN), dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Posisi investor asing di SUN meningkat dari Rp 87,6 triliun (di akhir 2008) menjadi Rp 99,5 triliun pada bulan Oktober. Jumlah SBI yang dibeli oleh asing sudah mencapai Rp 45 triliun.

Implikasi penguatan rupiah

Penguatan rupiah memiliki implikasi terhadap perekonomian. Sisi positif penguatan rupiah dapat dilihat melalui (1) berkurangnya tekanan inflasi, (2) potensi bisa tetap rendahnya suku bunga dalam negeri, dan (3) berkurangnya tekanan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Adapun potensi implikasi negatif dari rupiah yang terlalu kuat adalah (1) potensi anjloknya daya saing ekspor, dan (2) risiko gejolak kurs jika terjadi pembalikan.

Apresiasi rupiah sebesar 10 persen diperkirakan akan mengurangi tekanan inflasi 0,8 persen. Karena lebih dari 60 persen impor Indonesia adalah bahan baku dan barang modal, maka penguatan rupiah akan membantu mengurangi biaya produksi.

Pengurangan tekanan inflasi akibat penguatan rupiah memberikan peluang bagi Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga rendah. Penguatan rupiah juga dapat membantu APBN melalui pengurangan tekanan pembayaran bunga utang luar negeri dan biaya impor bahan bakar minyak. Utang luar negeri pemerintah berjumlah 85 miliar dollar AS. Analisis sensitivitas menunjukkan setiap penguatan Rp 100 akan mengurangi beban defisit APBN sekitar Rp 0,4 triliun.

Beban sektor swasta juga terbantu karena utang luar negeri swasta sudah berjumlah sekitar 62 miliar dollar AS, dengan banyak perusahaan swasta tersebut tidak memiliki pendapatan dollar.

Bagi sektor perbankan, penguatan rupiah juga akan mengurangi potensi kredit bermasalah kredit valuta asing. Kredit valuta asing perbankan saat ini memang tidak besar, sekitar 18 persen dari total kredit perbankan, tetapi tetap perlu dimonitor risikonya.

Sebenarnya rupiah tidak dapat dikatakan overvalued karena mata uang banyak negara juga menguat terhadap dollar AS. Nilai tukar rupiah saat ini (di sekitar Rp 9.300-Rp 9.400) adalah sama dengan periode tahun 2007.

Meski demikian, potensi overvaluasi masih terbuka bagi rupiah. Dengan menggunakan metode real effective exchange rate (REER), rupiah telah bergeser dari kondisi undervalued sebesar 13,5 persen menjadi sedikit overvalued sebesar 3 persen, tetapi belum mencapai situasi yang mencemaskan.

Satu hal kita harus ingat bahwa daya saing jangka panjang Indonesia bukan ditentukan oleh kurs mata uang, tetapi oleh ketersediaan infrastruktur, ketahanan energi, ketahanan pangan, dan kualitas sumber daya manusia.

Apresiasi rupiah dapat dimanfaatkan untuk mengimpor lebih banyak barang modal untuk kebutuhan investasi. Perbaikan infrastruktur dan sektor manufaktur memerlukan alat berat dan mesin yang notabene masih banyak diimpor.

Sektor manufaktur harus dibenahi. Produk pertanian harus diolah di dalam negeri agar nilai tambahnya berguna bagi masyarakat Indonesia. Perbaikan kualitas infrastruktur dan transportasi akan meningkatkan kelancaran jalur distribusi yang selanjutnya akan membuat harga produk Indonesia menjadi lebih kompetitif.

Yang harus diwaspadai adalah risiko pembalikan arah. Untuk itu, jumlah dana investor asing di SBI saat ini sekitar Rp 45 triliun adalah potensi risiko negatif yang akan selalu kita hadapi seperti yang dialami tahun 2005 dan 2008. Semoga BI mempunyai keberanian mengatur investasi asing di SBI.

Bank India Berniat Membeli Bank di Indonesia

Jumat, 23 Oktober 2009 | 08:49 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Minat investor asing mengakuisisi bank di Indonesia masih tinggi. Bank terbesar di India, State Bank of India (SBI), menyatakan sedang mengincar bank di Indonesia yang memiliki aset sekitar 100 juta dollar AS, atau sedikit di bawah Rp 1 triliun.

Harian The Financial Ekspress edisi Kamis (22/10), mengutip seorang pejabat senior di SBI yang menyatakan SBI sudah memiliki empat target akuisisi. Jika rencana akuisisi terlaksana, ini merupakan transaksi pembelian bank Indonesia kedua oleh SBI. Tahun 2006, SBI mengakuisisi 76 persen saham Bank Indomonex yang kini berganti nama menjadi Bank SBI Indonesia.

Eksekutif SBI tersebut mengaku, mereka berencana menggabungkan bank yang akan diakuisisi dengan SBI Indonesia. SBI ingin memanfaatkan peluang pembiayaan perdagangan antara Indonesia dengan India. Nilai impor India dari Indonesia 6,1 miliar dollar AS selama semester I 2009.

SBI Indonesia menargetkan modal mereka sampai akhir tahun nanti mencapai Rp 300 miliar. Tumbuh dua kali lipat dari posisi akhir juli sebesar Rp 150 miliar. Total aset mereka per Agustus 2009 sebesar Rp 933,5 miliar, sedangkan dana pihak ketiganya Rp 752,3 miliar.

Dalam wawancara dengan Mingguan KONTAN, awal Oktober, Rajiv Saran, Presiden Direktur State Bank of India, menyatakan, banknya berencana ekspansi di Indonesia. Mereka ingin membuka kantor cabang dan sub-cabang di beberapa kota di Indonesia.

Pada September lalu, SBI Indonesia membuka sub-cabang di Melawai, Jakarta Selatan, dan Jatinegara, Jakarta Timur. Oktober ini, mereka buka cabang di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dan di Buah Batu, Bandung.

“Kami juga rajin menggarap pasar di luar Jawa. Sudah ada satu cabang di Medan, Sumatra Utara. Dalam waktu dekat kami akan membuka cabang di Makassar, Sulawesi Selatan, dan Samarinda, Kalimantan Timur,” katanya.

Tahun ini, manajemen menargetkan membuka 16 cabang. Selain di Indonesia, SBI juga berencana membuka kantor cabang di Malaysia pada Maret 2010 men (Syamsul Ashar/Kontan)

Saham

Jumat, 23 Oktober 2009 | 16:24 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Menjelang libur akhir pekan, saham-saham di Bursa Efek Indonesia melaju mantap di jalur positif. Indeks harga saham gabungan pada Jumat (23/10) sore menguat 1,43 persen.

IHSG ditutup bertambah 34,764 poin pada 2.467,948. Sektor pertambangan dan miscellaneous industry memimpin laju indeks.

Pada perdagangan hari ini, sebanyak 143 saham naik mendominasi dibandingkan 46 saham turun dan 68 saham stagnan. Dengan hijaunya sebagian besar saham, indikator utama BEI lainnya juga mantap di zona hijau. Itu seperti indeks Kompas100 yang meningkat 1,56 persen, kemudian indeks LQ45 naik 1,66 persen, dan Jakarta Islamic Index menguat 1,77 persen.

Adapun nilai perdagangan mencapai Rp 3,971 triliun dari 86.907 kali transaksi dengan volume 4,942 miliar saham

Pertamina Jajaki Bangun SPBU di Australia


Foto: dok detikFinance
Sydney - Setelah berhasil memperkenalkan produk pelumasnya Fastron di pasar Australia. PT Pertamina (Persero) berniat menjajaki pembangunan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di negeri Kangguru tersebut.

Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Ahmad Faisal mengatakan saat ini pihaknya akan melakukan feasibility study terkait rencana tersebut. Jika hasil study menunjukan layak secara ekonomis maka pembangunan SPBU Pertamina di Australia, sangat mungkin terlaksana dalam waktu dekat.


“Kita akan lakukan survey, kalau ekonomis maka kita akan buka di sini,” kata Faisal saat ditemui di sela-sela peluncuran OliMart Pertamina di Sydney Sabtu
(24/10/2009).

Dikatakannya, potensi bisnis SPBU di Australia memang terbuka lebar. Terlebih lagi pemerintah Australia sangat liberal dalam mengizinkan pembukaan SPBU. Apalagi saat ini jumlah warga negara Indonesia yang tinggal di Australia mencapai 40.000 orang dan itu dinilai sebagai pasar yang sangat potensial.

“Kita rencanakan buka SPBU dengan memasukan unsur outlet-outlet produk Indonesia
di sini, sambil memperkenalkan produk nasional,” ungkapnya.

Selain perhitungan pasar, pihaknya juga mempertimbangkan aspek pembangunan brand image produknya di Australia, karena itu sangat penting untuk menunjukan kalau perusahaan plat merah Pertamina bukan hanya jago kandang saja.

“Untuk BBM-nya kita beli disini, sedangkan pelumasnya produk kita bawa dari produk kita dan kita buat khusus outlet produk Indonesia,” jelas Faisal.

Ia menyatakan untuk merealisasikan rencana bisnis tersebut, perseroan harus ekstra hati-hati
mengingat pengalaman membangun SPBU di Myanmar pernah dilakukannya beberapa waktu lalu, namun akhirnya ditutup. Di Australia sendiri, Pertamina bakal bersaing ketat dengan pemain SPBU seperti Castrol dan Shell.

“Kita jangan hanya jago kandang, makanya kita akan coba jajaki pembukaan SPBU di sini,” sergahnya.

Ia menjelaskan pembangunan SPBU di Australia tidak sulit, dengan perkiraan investasi per satu buah SPBU untuk bangunan saja hanya Rp 5 miliar, dan lokasi tanah hanya menyewa. Ia mencontohkan salah satu ritel mini market 7-Eleven juga melakukan bisnis SPBU di negeri kangguru tersebut.

Sementara itu, Exclusive Distributor of Pertamina lubricants Managing Director Sukendro Darmanto mengatakan pembukaan SPBU Pertamina di Australia sangat potensial dan baik dalam pengembangan brand image.

“Ini langkah positif disamping bisa membangun image, Pertamina juga bisa berkompetisi di luar. Feasibility study sedang dalam tahap penjajakan,” tambah Sukendro.

(hen/epi)

Sumber : detik finance

Pengikut