Jakarta - Pemerintah tengah menggodok draft Peraturan Pemerintah (PP) mengenai kepemilikan warga negara asing (WNA) terhadap sektor properti di Tanah Air. Dibukanya kepemilikan asing untuk sektor properti diharapkan bisa menggairahkan sektor properti di Indonesia.
Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa mengatakan penerbitan PP ini bisa segera diterbitkan hingga satu semester ke depan. Ia juga mengatakan pembahasan telah dilakukan dengan Menko Perekonomian dan Sekretariat Negara.
"Saya berharap satu semester ke depan, memastikan kalau itu terjadi," katanya dalam acara seminar hak kepemilikan properti bagi orang asing, peluang dan tantangan di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (7/1/2010).
Ia menjelaskan kepemilikan asing properti di Indonesia jangan hanya dilihat dari sisi konsumer melainkan harus dilihat dari sisi investasi. Banyak keuntungan yang bisa diperoleh, yaitu selain mendorong properti, banyak pajak yang bisa diterima dan menekan lahan pemukiman kumuh dan lain-lain.
Ia mencontohkan dalam poin-poin draft itu akan diberikan insentif berupa kelonggaran batas minimal tinggal selama 14 hari selama setahun bagi orang asing dalam 5 tahun bagi orang asing yang memiliki properti di Indonesia.
"Ini untuk kepentingan ekspatriat yang ada di Indonesia," katanya.
Suharso menegaskan saat ini semuanya masih digodok, banyak hal yang masih harus didiskusikan dari semua pihak, misalnya mengenai batas hak kepemilikannya seperti apa, berapa lama, jenis huniannya, pasca memiliki dan dijual kembali dan lain-lain.
"Ini bukan maksudnya memanjakan orang asing, kalau orang asing boleh membeli Indosat, beli jalan tol, mengapa untuk properti tidak," katanya.
Ia juga mengatakan, tidak perlu adanya kekhawatiran terhadap adanya kepemilikan asing terhadap properti karena bagaimana pun properti tidak bisa dibawa kemana-mana.
Sementara Pengusaha Properti Enggartiasto Lukita mengatakan fenomena melepas properti terhadap kepemilikan asing sudah terjadi dibanyak negara, bahkan negara-negara seperti Malaysia, Vietnam, dan Singapura sudah menerapkan hal ini.
Ia menambahkan landasan hukum oleh PP memang tidak terlalu kuat, namun sebagai tahap awal perlu adanya langkah awal, yaitu menunjukan bahwa pemerintah ada keinginan membuka pasar sektor properti termasuk untuk orang asing.
"Paling tidak harus diamandemen tiga undang-undang yaitu undang-undang pokok agraria tahun 1960, UU Rumah Susun, UU Perumahan dan Pemukiman," katanya.
sumber detik finance
ANM World Wide

Earth
Kamis, 07 Januari 2010
Saatnya Menabung di Pasar Modal
Jakarta - Mendengar kata tabungan, sebagian besar akan mengasosiasikannya dengan produk tabungan atau deposito dalam dunia perbankan. Padahal, konsep tabungan juga bisa diterapkan dalam dunia pasar modal.
Bagi sebagian orang, menabung tidak melulu harus ditaruh di bank, melainkan dalam produk-produk pasar modal seperti saham, reksa dana, obligasi dan sebagainya.
Menurut Direktur Utama PT Kresna Graha Sekurindo Tbk (KREN) Michael Stevens, masyarakat Indonesia kebanyakan masih kurang memahami konsep menabung di pasar modal. Padahal, lanjutnya, potensi selisih keuntungan yang akan diperoleh bisa lebih besar ketimbang tabungan atau deposito di bank.
"Sebenarnya, bagi masyarakat yang sudah memiliki tabungan atau deposito di bank, menambah bentuk tabungannya dalam produk pasar modal akan sangat menguntungkan," ujar Michael pekan lalu.
Michael menjelaskan, tabungan atau deposito di bank cenderung memberikan selisih keuntungan (bunga) yang pasti, tentunya mengikuti kebijakan suku bunga Bank Indonesia (BI Rate). Namun biasanya, ujar Michael, selisih yang diberikan oleh bank lebih kecil ketimbang selisih yang diberikan dalam dunia pasar modal.
"Bank memberikan bunga tidak besar, namun lebih aman, karena tingkat risikonya kecil. Nah, tabungan pasar modal lebih berisiko. Tapi jangan salah, kalau manajemen portofolionya bagus, risiko itu akan berkurang," ujar Michael.
Michael menjelaskan, kebanyakan orang berpikir modal yang diperlukan untuk berinvestasi di pasar modal tidak perlu dilakukan secara berkala. Kebanyakan orang, lanjut Michael, berpikir kalau investasi di pasar modal itu bukan seperti menabung di bank, yaitu menempatkan modalnya secara kontinyu.
"Itu sebenarnya pemikiran yang kurang tepat, karena seharusnya investor pasar modal juga terus menaruh modalnya secara kontinyu setiap bulan seperti menabung di bank," jelas Michael.
Menurut Michael, kalau seorang investor tidak menaruh modalnya untuk investasi secara kontinyu, itu akan menjadi sangat berisiko. Sebab, dengan cara itu portofolio yang dimilikinya akan bersifat pasif terhadap pergerakan harga saham yang terjadi di pasar.
Ilustrasinya seperti ini, seorang investor memiliki modal Rp 1 juta yang seluruhnya digunakan untuk membeli saham A sebanyak 10 ribu lembar di harga Rp 100 per saham.
Kalau investor tersebut tidak terus menerus melakukan pembelian, maka nilai aset saham yang dimilikinya hanya bergantung pada pasar. Kalau harga saham A naik 10 poin, maka aset dia menjadi Rp 1,1 juta. Sebaliknya, kalau harga saham di pasar turun 10 poin, maka aset dia menjadi Rp 900 ribu.
"Ini sangat berisiko, karena ia tidak berperan aktif dalam pembentukan harga di pasar, karena ia tidak terus melakukan pembelian secara kontinyu. Seandainya terjadi sesuatu yang menyebabkan harga saham jatuh tajam, maka nilai aset saham dia akan jatuh dan untuk mencapai nilai aset semula sangat tergantung pada
pasar," ujarnya.
Nah, menurut Michael, kalau investor itu terus menerus melakukan pembelian saham A secara kontinyu, maka kalau terjadi penurunan harga saham, investor tersebut dengan terus melakukan pembelian saham akan menciptakan harga rata-rata pembelian yang selalu baru dan lebih rendah.
"Ini berarti, kalau harga rata-rata pembelian dia ikut turun seiring dengan penurunan harga saham, maka untuk memperoleh nilai modal semula tidak harus menunggu harga saham naik sebanyak penurunannya," ujar Michael.
Ilustrasinya seperti ini, harga saham A menurun 50 poin, artinya nilai aset investor tersebut menjadi Rp 500 ribu. Jika investor itu tidak melakukan pembelian berkala, maka untuk mengembalikan modalnya, ia harus menunggu harga saham A naik hingga 50 poin.
Lain halnya kalau investor tersebut melakukan pembelian berkala. Sebut saja, ia memiliki tabungan Rp 1 juta setiap bulan. Nah, ketika harga saham A jatuh 50 poin, ia melakukan pembelian dengan dana Rp 1 juta. Berhubung harga saham A sudah di level Rp 50 (karena telah turun 50 poin), maka ia akan mendapatkan 20
ribu lembar saham A.
Sekarang berhitung, pada bulan pertama ia dengan modal Rp 1 juta membeli 10 ribu lembar saham A. Pada bulan kedua, dengan dana yang sama sebesar Rp 1 juta, ia memperoleh 20 ribu saham A, karena harga saham A sudah jatuh 50 poin.
Dengan demikian ia kini memiliki 30 ribu lembar saham dengan modal Rp 2 juta. Itu berarti harga rata-rata pembelian dia sebesar Rp 2 juta : 30 ribu lembar saham = Rp 66,67 per saham.
Kalau harga saham A naik ke Rp 70 saja, investor tersebut sudah mendapatkan kembali modalnya, plus selisih keuntungan sebesar Rp 3,33 per saham.
"Kalau mekanisme ini terus menerus dilakukan secara kontinyu, maka mau saham itu turun pun tidak masalah, karena akan membentuk harga rata-rata pembelian yang selalu baru, sehingga peluang untuk mendapatkan selisih keuntungan lebih besar," ujar Michael.
Menurut Michael, jumlahnya tidak perlu besar, investor cukup menyisihkan berapa pun uang yang bisa ia masukkan ke pasar modal, asalkan dilakukan secara kontinyu.
"Jumlah tidak masalah, tergantung kemampuan masing-masing, yang penting dilakukan secara kontinyu setiap bulan seperti menabung di bank," ujarnya.
Sumber detik finance
Bagi sebagian orang, menabung tidak melulu harus ditaruh di bank, melainkan dalam produk-produk pasar modal seperti saham, reksa dana, obligasi dan sebagainya.
Menurut Direktur Utama PT Kresna Graha Sekurindo Tbk (KREN) Michael Stevens, masyarakat Indonesia kebanyakan masih kurang memahami konsep menabung di pasar modal. Padahal, lanjutnya, potensi selisih keuntungan yang akan diperoleh bisa lebih besar ketimbang tabungan atau deposito di bank.
"Sebenarnya, bagi masyarakat yang sudah memiliki tabungan atau deposito di bank, menambah bentuk tabungannya dalam produk pasar modal akan sangat menguntungkan," ujar Michael pekan lalu.
Michael menjelaskan, tabungan atau deposito di bank cenderung memberikan selisih keuntungan (bunga) yang pasti, tentunya mengikuti kebijakan suku bunga Bank Indonesia (BI Rate). Namun biasanya, ujar Michael, selisih yang diberikan oleh bank lebih kecil ketimbang selisih yang diberikan dalam dunia pasar modal.
"Bank memberikan bunga tidak besar, namun lebih aman, karena tingkat risikonya kecil. Nah, tabungan pasar modal lebih berisiko. Tapi jangan salah, kalau manajemen portofolionya bagus, risiko itu akan berkurang," ujar Michael.
Michael menjelaskan, kebanyakan orang berpikir modal yang diperlukan untuk berinvestasi di pasar modal tidak perlu dilakukan secara berkala. Kebanyakan orang, lanjut Michael, berpikir kalau investasi di pasar modal itu bukan seperti menabung di bank, yaitu menempatkan modalnya secara kontinyu.
"Itu sebenarnya pemikiran yang kurang tepat, karena seharusnya investor pasar modal juga terus menaruh modalnya secara kontinyu setiap bulan seperti menabung di bank," jelas Michael.
Menurut Michael, kalau seorang investor tidak menaruh modalnya untuk investasi secara kontinyu, itu akan menjadi sangat berisiko. Sebab, dengan cara itu portofolio yang dimilikinya akan bersifat pasif terhadap pergerakan harga saham yang terjadi di pasar.
Ilustrasinya seperti ini, seorang investor memiliki modal Rp 1 juta yang seluruhnya digunakan untuk membeli saham A sebanyak 10 ribu lembar di harga Rp 100 per saham.
Kalau investor tersebut tidak terus menerus melakukan pembelian, maka nilai aset saham yang dimilikinya hanya bergantung pada pasar. Kalau harga saham A naik 10 poin, maka aset dia menjadi Rp 1,1 juta. Sebaliknya, kalau harga saham di pasar turun 10 poin, maka aset dia menjadi Rp 900 ribu.
"Ini sangat berisiko, karena ia tidak berperan aktif dalam pembentukan harga di pasar, karena ia tidak terus melakukan pembelian secara kontinyu. Seandainya terjadi sesuatu yang menyebabkan harga saham jatuh tajam, maka nilai aset saham dia akan jatuh dan untuk mencapai nilai aset semula sangat tergantung pada
pasar," ujarnya.
Nah, menurut Michael, kalau investor itu terus menerus melakukan pembelian saham A secara kontinyu, maka kalau terjadi penurunan harga saham, investor tersebut dengan terus melakukan pembelian saham akan menciptakan harga rata-rata pembelian yang selalu baru dan lebih rendah.
"Ini berarti, kalau harga rata-rata pembelian dia ikut turun seiring dengan penurunan harga saham, maka untuk memperoleh nilai modal semula tidak harus menunggu harga saham naik sebanyak penurunannya," ujar Michael.
Ilustrasinya seperti ini, harga saham A menurun 50 poin, artinya nilai aset investor tersebut menjadi Rp 500 ribu. Jika investor itu tidak melakukan pembelian berkala, maka untuk mengembalikan modalnya, ia harus menunggu harga saham A naik hingga 50 poin.
Lain halnya kalau investor tersebut melakukan pembelian berkala. Sebut saja, ia memiliki tabungan Rp 1 juta setiap bulan. Nah, ketika harga saham A jatuh 50 poin, ia melakukan pembelian dengan dana Rp 1 juta. Berhubung harga saham A sudah di level Rp 50 (karena telah turun 50 poin), maka ia akan mendapatkan 20
ribu lembar saham A.
Sekarang berhitung, pada bulan pertama ia dengan modal Rp 1 juta membeli 10 ribu lembar saham A. Pada bulan kedua, dengan dana yang sama sebesar Rp 1 juta, ia memperoleh 20 ribu saham A, karena harga saham A sudah jatuh 50 poin.
Dengan demikian ia kini memiliki 30 ribu lembar saham dengan modal Rp 2 juta. Itu berarti harga rata-rata pembelian dia sebesar Rp 2 juta : 30 ribu lembar saham = Rp 66,67 per saham.
Kalau harga saham A naik ke Rp 70 saja, investor tersebut sudah mendapatkan kembali modalnya, plus selisih keuntungan sebesar Rp 3,33 per saham.
"Kalau mekanisme ini terus menerus dilakukan secara kontinyu, maka mau saham itu turun pun tidak masalah, karena akan membentuk harga rata-rata pembelian yang selalu baru, sehingga peluang untuk mendapatkan selisih keuntungan lebih besar," ujar Michael.
Menurut Michael, jumlahnya tidak perlu besar, investor cukup menyisihkan berapa pun uang yang bisa ia masukkan ke pasar modal, asalkan dilakukan secara kontinyu.
"Jumlah tidak masalah, tergantung kemampuan masing-masing, yang penting dilakukan secara kontinyu setiap bulan seperti menabung di bank," ujarnya.
Sumber detik finance
Rupiah Menguat 50 Poin
Jakarta - Nilai tukar rupiah kembali mengukir penguatan hingga 50 poin pada awal perdagangan. Bank Indonesia (BI) ditengarai masuk ke pasar untuk menahan laju penguatan rupiah yang cepat.
Pada perdagangan Kamis (7/1/2010), rupiah dibuka menguat lagi ke level 9.225 per dolar AS, dibandingkan sebelumnya di level 9.275 per dolar AS.
Di pasar global, dolar AS kemarin bergerak stabil setelah catatan dari hasil pertemuan Federal Reserve terakhir menunjukkan bank sentral kemungkinan masih mencari upaya perluasan stimulus.
Euro stabil di 1,4406 dolar, dibandingkan sebelumnya di 1,4367 dolar. Namun dolar AS menguat atas yen ke 92,27 yen, dibandingkan sebelumnya di 91,70 yen.
Sumber detik finance
Pada perdagangan Kamis (7/1/2010), rupiah dibuka menguat lagi ke level 9.225 per dolar AS, dibandingkan sebelumnya di level 9.275 per dolar AS.
Di pasar global, dolar AS kemarin bergerak stabil setelah catatan dari hasil pertemuan Federal Reserve terakhir menunjukkan bank sentral kemungkinan masih mencari upaya perluasan stimulus.
Euro stabil di 1,4406 dolar, dibandingkan sebelumnya di 1,4367 dolar. Namun dolar AS menguat atas yen ke 92,27 yen, dibandingkan sebelumnya di 91,70 yen.
Sumber detik finance
Market Flash eTrading
Jakarta - Dow Jones: Bursa US menguat seiring naiknya harga komoditi dan adanya indikasi the Fed akan mempertimbangkan stimulus baru. Index S&P 500 naik 0.1% mencapai level tertinggi dalam 15 bulan terakhir di 1,137. Index Dow Jones Industrial Average menguat 1.66 poin (+0.1%) ke level 10,573 dan Index Nasdaq Composite naik 0.3% ke level 2,301.
Kenaikan bursa di pimpin oleh kenaikan saham-saham energy antara lain Baker Hughes Inc. dan Freeport-McMoRan Cooper & Gold Inc. yang naik 4%. Saham bank of America dan Citigroup Inc. naik sebesar 1.1%.
Regional Pagi: Nikkei 225 (-0.1%) 10,717.37, Topix (+0.1%) 932.43.49, dengan penguatan saham perusahaan pengapalan, namun Japan Airlines Corp. melanjutkan pelemahannya. JAL (-8.3%) setelah kerugian besar di sesi sebelumnya. Mitsui O.S.K. Lines Ltd. (+1.9%), dan Nippon Yusen K.K. (+4.2%).
Saham Australian diperdagangkan flat pagi ini seiring penguatan pada saham energi mengimbangi pelemahan finansial. Woodside Petroleum Ltd. (+1.2%) menyusul penguatan harga minyak, Origin Energy Ltd. (+0.6%). Alumina Ltd.(+3.9%). Pelemahan terjadi pada, National Australia Bank Ltd. (-1.2%), dan Australia & New Zealand Banking Group (-0.9%), menyusul pergerakan mixed dari Wall Street. S&P/ASX 200 (-0.1%) 4,918.7. KOSPI INDEX (-0.19%) 1,702.15. STI (+0.33%) 2,940.06.
Commodity: Harga Minyak masih di perdagangkan mendekati level tertinggi dalam 14 bulan, seiring prediksi cuaca yang semakin dingin di US dan China, konsumer energy terbesar dunia. Harga minyak mentah untuk delivery bulan Februari di perdagangkan di level US$ 83.2/barel, turun tipis sebesar 3 sen. Crude oil (+0.02%) $83.2/bbl, Gold (-0.01%) $1.138/oz, CPO (+16.5%) RM3,206/MT, Nickel (+2.4%) $19,155/MT, Tin (+2.6%) $17,825/MT.
Economic & Industrial News
Economic : BI Rate Tetap 6.5%
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada awal 2010 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,5%. Keputusan diambil setelah mempertimbangkan bahwa BI Rate pada tingkat tersebut dipandang masih konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi tahun 2010 sebesar 5%±1%. Dewan Gubernur melihat bahwa balance of risk tekanan inflasi belum akan muncul setidaknya pada semester I-2010.
Economic: Cadangan Devisa Akhir 2010 Ditargetkan US$76 Miliar
Cadangan devisa akhir 2010 ditargetkan sebesar US$75-76 miliar atau setara 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Target itu lebih tinggi dibanding perkiraan Kementrian Keuangan yang sebesar US$73 miliar. Sedangkan, hingga Desember 2009, cadangan devisa mencapai US$66,1 miliar.
Economic: Net Buy Asing Capai Rp 1,7 Triliun
Hingga kemarin, nilai beli bersih asing (foreign net buy) telah mencapai Rp 1,713 triliun. Dari jumlah tersebut, net buy asing terbesar terkonsentrasi pada saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Selama dua hari berturut-turut, asing mencatat net buy pada saham BUMI sebesar Rp 841,480 miliar.
Corporate news
INDF: Capex 2010 Rp 4,2 Triliun
PT Indofood Sukses Makmur menaggarkan belanja modal (capex) 2010 mencapai Rp 4,2 Triliun, atau naik sebesar 21,39% di banding capex 2009 yang hanya Rp 3,46 Triliun. Anggaran Capex untuk pengembangan bisnis perkebunan sebesar Rp 2,1 - 2,5 Triliun, untuk peningkatan kapasitas produksi produk konsumen sebesar Rp 1,1 Triliun dan sisa capex Rp 576 miliar di alokasikan untuk peningkatan kapasitas produksi tepung terigu.
ADHI: Incar Proyek Swasta Rp2,2 Triliun
ADHI menargetkan kenaikan perolehan proyek swasta selama 2010 menjadi Rp2,26 triliun dibandingkan tahun lalu sekitar Rp1,41 triliun. Perseroan mengharapkan kontribusi proyek swasta sekitar 25% terhadap estimasi kontrak baru tahun ini senilai Rp9,06 triliun.
BUMI: Akan Buat Conveyor Belt US$ 30 Juta
BUMI berencana membangun overland conveyor belt guna meningkatkan efisiensi rantai pengiriman batubara. Terkait rencana tersebut, BUMI harus menganggarkan dana sebesar US$ 30 juta untuk membangun alat sepanjang 30 km yang membentang dari lokasi tambang PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia menuju pelabuhan.
DEWA: Anak Usaha Darma Henwa Bangun Pembangkit Listrik
Perusahaan jasa kontraktor pertambangan DEWA melalui anak usahanya, PT DH Energy, menggandeng perusahaan asal Jepang, Japan Power (J Power), guna membangun pembangkit listrik tenaga batu bara di Muara Enim, Sumatra Selatan.
IPO : PP Gelar IPO Februari Saham yang Dilepas 21,46%
PT Pembangunan Perumahan (PP) berencana mencatatkan saham perdana (listing) di BEI pada Februari 2010. Menurut rencana, PP akan melepas sekitar 21,46% sahamnya ke publik melalui mekanisme initial public offering(IPO). Direktur Keuangan PP menjelaskan meski DPR mengizinkan untuk menjual maksimal 30% sahamnya, perseroan memutuskan hanya melepas 21,4% sahamnya ke publik.
IGAR: Telah Membeli Kembali 6,53% Saham
IGAR telah membeli kembali saham sebanyak 6,49% dari total modal disetor. Hingga saat ini total saham yang sudah dibeli kembali menapai 6,53%.
Rumor
Harga saham BW Plantation Tbk (BWPT) berpeluang menuju Rp700 dalam jangka pendek.Ada investor asal Tiongkok yang berminat membeli saham perserona. Hal itu menyusul ekspansi usaha perseroan menambah jumlah tertanam sawit tahun ini seluas 12 ribu ha. Selain itu, mulai naiknya harga CPO bakal berdampak positif.
Saham PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) dikabarkan tengah diburu oleh sejumlah broker, menyusul pembelian kembali (buyback) saham perseroan di atas harga pasar. Perseroan akan menjual saham hasil buyback kepada investor asal Amerika Serikat atau Timur Tengah. Harga ELTY berpeluang menuju Rp300 dalam jangka pendek.
Corporate Action
Hari ini (7/01), cum dividen Elnusa Tbk (ELSA) Rp 20/saham. Ex dividen (8/01)
Hari ini, (7/01), cum date rights issue Sentul City Tbk (BKSL), ratio 3(new) : 2(old) Rp 100/saham Ex date (8/01)
Technical Picks
* KLBF (1350) – Speculative BUY
* UNVR (11.300) – BUY on Weakness
* BSDE (840) – SELL
* BMRI (4800) – SELL.
Sumber detik.com
Kenaikan bursa di pimpin oleh kenaikan saham-saham energy antara lain Baker Hughes Inc. dan Freeport-McMoRan Cooper & Gold Inc. yang naik 4%. Saham bank of America dan Citigroup Inc. naik sebesar 1.1%.
Regional Pagi: Nikkei 225 (-0.1%) 10,717.37, Topix (+0.1%) 932.43.49, dengan penguatan saham perusahaan pengapalan, namun Japan Airlines Corp. melanjutkan pelemahannya. JAL (-8.3%) setelah kerugian besar di sesi sebelumnya. Mitsui O.S.K. Lines Ltd. (+1.9%), dan Nippon Yusen K.K. (+4.2%).
Saham Australian diperdagangkan flat pagi ini seiring penguatan pada saham energi mengimbangi pelemahan finansial. Woodside Petroleum Ltd. (+1.2%) menyusul penguatan harga minyak, Origin Energy Ltd. (+0.6%). Alumina Ltd.(+3.9%). Pelemahan terjadi pada, National Australia Bank Ltd. (-1.2%), dan Australia & New Zealand Banking Group (-0.9%), menyusul pergerakan mixed dari Wall Street. S&P/ASX 200 (-0.1%) 4,918.7. KOSPI INDEX (-0.19%) 1,702.15. STI (+0.33%) 2,940.06.
Commodity: Harga Minyak masih di perdagangkan mendekati level tertinggi dalam 14 bulan, seiring prediksi cuaca yang semakin dingin di US dan China, konsumer energy terbesar dunia. Harga minyak mentah untuk delivery bulan Februari di perdagangkan di level US$ 83.2/barel, turun tipis sebesar 3 sen. Crude oil (+0.02%) $83.2/bbl, Gold (-0.01%) $1.138/oz, CPO (+16.5%) RM3,206/MT, Nickel (+2.4%) $19,155/MT, Tin (+2.6%) $17,825/MT.
Economic & Industrial News
Economic : BI Rate Tetap 6.5%
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada awal 2010 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,5%. Keputusan diambil setelah mempertimbangkan bahwa BI Rate pada tingkat tersebut dipandang masih konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi tahun 2010 sebesar 5%±1%. Dewan Gubernur melihat bahwa balance of risk tekanan inflasi belum akan muncul setidaknya pada semester I-2010.
Economic: Cadangan Devisa Akhir 2010 Ditargetkan US$76 Miliar
Cadangan devisa akhir 2010 ditargetkan sebesar US$75-76 miliar atau setara 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Target itu lebih tinggi dibanding perkiraan Kementrian Keuangan yang sebesar US$73 miliar. Sedangkan, hingga Desember 2009, cadangan devisa mencapai US$66,1 miliar.
Economic: Net Buy Asing Capai Rp 1,7 Triliun
Hingga kemarin, nilai beli bersih asing (foreign net buy) telah mencapai Rp 1,713 triliun. Dari jumlah tersebut, net buy asing terbesar terkonsentrasi pada saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Selama dua hari berturut-turut, asing mencatat net buy pada saham BUMI sebesar Rp 841,480 miliar.
Corporate news
INDF: Capex 2010 Rp 4,2 Triliun
PT Indofood Sukses Makmur menaggarkan belanja modal (capex) 2010 mencapai Rp 4,2 Triliun, atau naik sebesar 21,39% di banding capex 2009 yang hanya Rp 3,46 Triliun. Anggaran Capex untuk pengembangan bisnis perkebunan sebesar Rp 2,1 - 2,5 Triliun, untuk peningkatan kapasitas produksi produk konsumen sebesar Rp 1,1 Triliun dan sisa capex Rp 576 miliar di alokasikan untuk peningkatan kapasitas produksi tepung terigu.
ADHI: Incar Proyek Swasta Rp2,2 Triliun
ADHI menargetkan kenaikan perolehan proyek swasta selama 2010 menjadi Rp2,26 triliun dibandingkan tahun lalu sekitar Rp1,41 triliun. Perseroan mengharapkan kontribusi proyek swasta sekitar 25% terhadap estimasi kontrak baru tahun ini senilai Rp9,06 triliun.
BUMI: Akan Buat Conveyor Belt US$ 30 Juta
BUMI berencana membangun overland conveyor belt guna meningkatkan efisiensi rantai pengiriman batubara. Terkait rencana tersebut, BUMI harus menganggarkan dana sebesar US$ 30 juta untuk membangun alat sepanjang 30 km yang membentang dari lokasi tambang PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia menuju pelabuhan.
DEWA: Anak Usaha Darma Henwa Bangun Pembangkit Listrik
Perusahaan jasa kontraktor pertambangan DEWA melalui anak usahanya, PT DH Energy, menggandeng perusahaan asal Jepang, Japan Power (J Power), guna membangun pembangkit listrik tenaga batu bara di Muara Enim, Sumatra Selatan.
IPO : PP Gelar IPO Februari Saham yang Dilepas 21,46%
PT Pembangunan Perumahan (PP) berencana mencatatkan saham perdana (listing) di BEI pada Februari 2010. Menurut rencana, PP akan melepas sekitar 21,46% sahamnya ke publik melalui mekanisme initial public offering(IPO). Direktur Keuangan PP menjelaskan meski DPR mengizinkan untuk menjual maksimal 30% sahamnya, perseroan memutuskan hanya melepas 21,4% sahamnya ke publik.
IGAR: Telah Membeli Kembali 6,53% Saham
IGAR telah membeli kembali saham sebanyak 6,49% dari total modal disetor. Hingga saat ini total saham yang sudah dibeli kembali menapai 6,53%.
Rumor
Harga saham BW Plantation Tbk (BWPT) berpeluang menuju Rp700 dalam jangka pendek.Ada investor asal Tiongkok yang berminat membeli saham perserona. Hal itu menyusul ekspansi usaha perseroan menambah jumlah tertanam sawit tahun ini seluas 12 ribu ha. Selain itu, mulai naiknya harga CPO bakal berdampak positif.
Saham PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) dikabarkan tengah diburu oleh sejumlah broker, menyusul pembelian kembali (buyback) saham perseroan di atas harga pasar. Perseroan akan menjual saham hasil buyback kepada investor asal Amerika Serikat atau Timur Tengah. Harga ELTY berpeluang menuju Rp300 dalam jangka pendek.
Corporate Action
Hari ini (7/01), cum dividen Elnusa Tbk (ELSA) Rp 20/saham. Ex dividen (8/01)
Hari ini, (7/01), cum date rights issue Sentul City Tbk (BKSL), ratio 3(new) : 2(old) Rp 100/saham Ex date (8/01)
Technical Picks
* KLBF (1350) – Speculative BUY
* UNVR (11.300) – BUY on Weakness
* BSDE (840) – SELL
* BMRI (4800) – SELL.
Sumber detik.com
BI Rate Turun 2,75% Tapi Bunga Kredit Hanya Turun 0,85%
Jakarta - Selama tahun 2009 suku bunga acuan Bank Indonesia (BI), BI Rate diturunkan sebesar 275 bps. Namun suku bunga kredit perbankan secara rata-rata hanya menurun 85 bps. Penurunan BI Rate tidak ampuh turunkan suku bunga kredit.
Dari Tinjauan Kebijakan Moneter Bank Indonesia yang dikutip detikFinance, Kamis (7/1/2009) dikatakan transmisi kebijakan moneter masih berjalan lambat, khususnya pada suku bunga kredit konsumsi.
Selama tahun 2009, rata-rata suku bunga kredit secara agregat (rata-rata suku bunga kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi) hanya menurun sebesar 85 bps. Penurunan tersebut sangat rendah jika dibandingkan dengan penurunan BI Rate dan suku bunga deposito 1 bulan.
Berdasarkan jenis penggunaannya, penurunan suku bunga kredit selama 2009 terutama terjadi pada suku bunga kredit investasi dan modal kerja, masing-masing sebesar 137 bps dan 126 bps.
Sementara itu, suku bunga kredit konsumsi sedikit mengalami peningkatan sebesar 7 bps selaras dengan karakteristik jenis kredit ini yang permintaannya relatif tidak terlalu elastis dengan perubahan suku bunga. Rigid-nya penurunan suku bunga kredit konsumsi antara lain disebabkan oleh cukup besarnya porsi penggunaan kredit lainnya termasuk kredit tanpa agunan dan kredit kendaraan bermotor dimana suku bunga yang dikenakan cukup tinggi.
Tapi di lain sisi, transmisi kebijakan moneter ke suku bunga deposito semakin baik. Sejak Januari hingga November 2009, penurunan BI Rate sebesar 275 bps telah direspons oleh penurunan suku bunga deposito 1 bulan yang mencapai 359 bps.
Penurunan suku bunga deposito ini lebih baik dibandingkan dengan periode penurunan BI Rate sebelumnya (2006-2007) yang hanya menurun sebesar 226 bps dalam kurun waktu yang sama.
Di periode pemberhentian penurunan BI Rate (September hingga Desember 2009), penurunan suku bunga deposito juga masih berlangsung, meskipun dengan besaran yang lebih rendah. Sementara itu, suku bunga deposito di tenor lain khususnya di atas 6 bulan tercatat menurun sangat lambat.
sumber detik finance
Dari Tinjauan Kebijakan Moneter Bank Indonesia yang dikutip detikFinance, Kamis (7/1/2009) dikatakan transmisi kebijakan moneter masih berjalan lambat, khususnya pada suku bunga kredit konsumsi.
Selama tahun 2009, rata-rata suku bunga kredit secara agregat (rata-rata suku bunga kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi) hanya menurun sebesar 85 bps. Penurunan tersebut sangat rendah jika dibandingkan dengan penurunan BI Rate dan suku bunga deposito 1 bulan.
Berdasarkan jenis penggunaannya, penurunan suku bunga kredit selama 2009 terutama terjadi pada suku bunga kredit investasi dan modal kerja, masing-masing sebesar 137 bps dan 126 bps.
Sementara itu, suku bunga kredit konsumsi sedikit mengalami peningkatan sebesar 7 bps selaras dengan karakteristik jenis kredit ini yang permintaannya relatif tidak terlalu elastis dengan perubahan suku bunga. Rigid-nya penurunan suku bunga kredit konsumsi antara lain disebabkan oleh cukup besarnya porsi penggunaan kredit lainnya termasuk kredit tanpa agunan dan kredit kendaraan bermotor dimana suku bunga yang dikenakan cukup tinggi.
Tapi di lain sisi, transmisi kebijakan moneter ke suku bunga deposito semakin baik. Sejak Januari hingga November 2009, penurunan BI Rate sebesar 275 bps telah direspons oleh penurunan suku bunga deposito 1 bulan yang mencapai 359 bps.
Penurunan suku bunga deposito ini lebih baik dibandingkan dengan periode penurunan BI Rate sebelumnya (2006-2007) yang hanya menurun sebesar 226 bps dalam kurun waktu yang sama.
Di periode pemberhentian penurunan BI Rate (September hingga Desember 2009), penurunan suku bunga deposito juga masih berlangsung, meskipun dengan besaran yang lebih rendah. Sementara itu, suku bunga deposito di tenor lain khususnya di atas 6 bulan tercatat menurun sangat lambat.
sumber detik finance
Mortgage demand near six-month low as rates jump
NEW YORK (Reuters) - Demand for U.S. mortgages held last week near six-month lows as the highest long-term borrowing costs since August stifled refinancing, a Mortgage Bankers Association survey showed on Wednesday.
Housing Market
Average 30-year mortgage rates jumped 0.10 percentage point to 5.18 percent in the January 1 week, up more than a half percentage point from the record low in March, driving down refinance requests to levels last seen in early August.
The rate was last higher in late August at 5.24 percent.
"Mortgage rates are going to be on an upward trajectory throughout the year and increase significantly, which means refinance volume is going to drop significantly," said Michael Lea, director of the Corky McMillin Center for Real Estate at San Diego State University.
Total mortgage applications eked out a 0.5 percent rise in the January 1 week after slumping nearly 23 percent in the Christmas week to the lowest level since late June.
When total demand for home loans has been at its highest last year it was due to a surge in refinancing rather than for home purchases. The highest unemployment rate in more than a quarter century and record foreclosures has kept many consumers from making such a major commitment.
The industry group reported two weeks of loan demand on Wednesday, as its offices were closed between the Christmas and New Year's holidays.
"We're not out of the woods in terms of housing," said Lea.
Demand will drop in the second half of 2010 after an expanded home buyer tax credit ends, and as loan defaults and foreclosures mount, he said.
"I don't see the current programs being that effective in terms of alleviating that problem," he said. "If that continues it will provide downward pressure on housing prices and the economy overall."
The mortgage industry group's refinance index dropped 1.6 percent in the January 1 week to 1,976.9 after tumbling more than 30 percent the prior week. At its 2009 peak, the refinance index topped 7,400 last January.
The purchase loan index rose 3.6 percent to 212.1 in the January 1 week after a 4.0 percent drop the prior week.
The tax credit is not the only government support to the fragile housing market that will peel off in the spring.
The Federal Reserve by March 31 will have bought more than $1.4 trillion in mortgage-related securities, aiming to hold down borrowing costs and revive housing as well as the economy.
Those purchases end soon before the tax credit also expires. Borrowers qualified for the $8,000 first-time buyer credit and $6,500 move-up buyer credit must sign contracts by April 30 and close on loans by the end of June.
A tenuous housing rebound may not have enough impetus on its own to then withstand the giant obstacles of double-digit unemployment and record foreclosures, economists have said.
by reuters
Housing Market
Average 30-year mortgage rates jumped 0.10 percentage point to 5.18 percent in the January 1 week, up more than a half percentage point from the record low in March, driving down refinance requests to levels last seen in early August.
The rate was last higher in late August at 5.24 percent.
"Mortgage rates are going to be on an upward trajectory throughout the year and increase significantly, which means refinance volume is going to drop significantly," said Michael Lea, director of the Corky McMillin Center for Real Estate at San Diego State University.
Total mortgage applications eked out a 0.5 percent rise in the January 1 week after slumping nearly 23 percent in the Christmas week to the lowest level since late June.
When total demand for home loans has been at its highest last year it was due to a surge in refinancing rather than for home purchases. The highest unemployment rate in more than a quarter century and record foreclosures has kept many consumers from making such a major commitment.
The industry group reported two weeks of loan demand on Wednesday, as its offices were closed between the Christmas and New Year's holidays.
"We're not out of the woods in terms of housing," said Lea.
Demand will drop in the second half of 2010 after an expanded home buyer tax credit ends, and as loan defaults and foreclosures mount, he said.
"I don't see the current programs being that effective in terms of alleviating that problem," he said. "If that continues it will provide downward pressure on housing prices and the economy overall."
The mortgage industry group's refinance index dropped 1.6 percent in the January 1 week to 1,976.9 after tumbling more than 30 percent the prior week. At its 2009 peak, the refinance index topped 7,400 last January.
The purchase loan index rose 3.6 percent to 212.1 in the January 1 week after a 4.0 percent drop the prior week.
The tax credit is not the only government support to the fragile housing market that will peel off in the spring.
The Federal Reserve by March 31 will have bought more than $1.4 trillion in mortgage-related securities, aiming to hold down borrowing costs and revive housing as well as the economy.
Those purchases end soon before the tax credit also expires. Borrowers qualified for the $8,000 first-time buyer credit and $6,500 move-up buyer credit must sign contracts by April 30 and close on loans by the end of June.
A tenuous housing rebound may not have enough impetus on its own to then withstand the giant obstacles of double-digit unemployment and record foreclosures, economists have said.
by reuters
Dow and S&P edge up, Nasdaq off on data, Fed minutes
NEW YORK (Reuters) - The Dow and S&P 500 inched higher, while the Nasdaq dipped on Wednesday after Federal Reserve officials said they were still worried about labor market weakness and a report on the services sector showed only slight improvement in the economy.
Cautious minutes from the Fed's last meeting, as well as the ISM services report, which showed the sector hovering on the cusp of expansion, came after a number of data points helped lift stocks earlier this week to their highest closing levels in more than a year.
The private-sector ADP jobs report, which showed that private-sector job losses slowed in December from November's pace, gave investors further pause for thought before Friday's key non-farm payrolls number.
"The big party is Friday morning," said Stephen Massocca, managing director at Wedbush Morgan in San Francisco. Today's "data points were mixed. I think that they are not that meaningful, and I think that the most important data point we will get will be Friday morning."
Even with Wednesday's tiny gain, the S&P 500 eked out a new 15-month high.
The Dow Jones industrial average .DJI rose 1.66 points, or 0.02 percent, to end at 10,573.68. The Standard & Poor's 500 Index .SPX inched up just 0.62 of a point, or 0.05 percent, to finish at 1,137.14. But the Nasdaq Composite Index .IXIC dropped 7.62 points, or 0.33 percent, to 2,301.09.
One bright spot was Family Dollar Stores Inc (FDO.N), up 12.5 percent at $30.92, after the retailer reported first-quarter earnings that beat expectations. Rival 99 Cents Only Stores (NDN.N) climbed 5 percent to $14.02.
The Nasdaq was pushed lower by losses in big-cap technology issues, including Apple Inc (AAPL.O), down 1.6 percent at $210.97, and Microsoft Corp (MSFT.O), down 0.6 percent at $30.77.
Weighing on the Dow was Travelers Cos Inc (TRV.N), down 1.4 percent at $47.94 after FBR cut its rating on the insurer to "market perform" from "outperform."
DJ TRANSPORTS DIVE AS OIL JUMPS
Another obstacle for stocks was the surge in the price of oil to above $83 a barrel, which pushed the Dow Jones Transportation Average .DJT down 0.6 percent. Energy-hungry package-shipping companies like FedEx Corp (FDX.N), down 0.8 percent at $83.84, and UPS (UPS.N), down 0.7 percent at $57.85, make up the Dow Jones Transportation Average.
U.S. February crude oil climbed $1.41, or 1.7 percent, to settle at $83.18 a barrel, the highest close since October 9, 2008, on expectations that cold weather in the United States will increase demand for heating oil.
Diversified manufacturer 3M Co (MMM.N) rose 1.5 percent to $83.72, supporting the blue-chip Dow average after Goldman Sachs added the stock to its Americas "conviction buy" list and said stronger-than-expected results in October and November likely continued in December.
In contrast, Walgreen Co (WAG.N) shed 0.8 percent to $36.72 after the drugstore chain said same-store sales fell in December instead of rising, as Wall Street had expected.
But Dow Chemical Co (DOW.N) jumped 1.8 percent to $31.02 after Barclays Capital upgraded the stock to "overweight" from "equal-weight."
On the economic front, the Institute for Supply Management non-manufacturing index rose to 50.1 in December, showing slight expansion, but was slightly below the 50.5 forecast by economists.
Earlier Wednesday, the ADP Employer Services report showed U.S. private employers shed 84,000 jobs in December, less than a revised 145,000 in November, but exceeding economists' forecast for a loss of 73,000 jobs.
Volume was light on the New York Stock Exchange, with 1.11 billion shares changing hands, below last year's estimated daily average of 2.18 billion. On the Nasdaq, about 2.28 billion shares traded.
Advancing stocks outnumbered declining ones on the NYSE by a ratio of 3 to 2.
But on the Nasdaq, the opposite trend held sway, with about five stocks falling for every four that rose.
by reuters
Cautious minutes from the Fed's last meeting, as well as the ISM services report, which showed the sector hovering on the cusp of expansion, came after a number of data points helped lift stocks earlier this week to their highest closing levels in more than a year.
The private-sector ADP jobs report, which showed that private-sector job losses slowed in December from November's pace, gave investors further pause for thought before Friday's key non-farm payrolls number.
"The big party is Friday morning," said Stephen Massocca, managing director at Wedbush Morgan in San Francisco. Today's "data points were mixed. I think that they are not that meaningful, and I think that the most important data point we will get will be Friday morning."
Even with Wednesday's tiny gain, the S&P 500 eked out a new 15-month high.
The Dow Jones industrial average .DJI rose 1.66 points, or 0.02 percent, to end at 10,573.68. The Standard & Poor's 500 Index .SPX inched up just 0.62 of a point, or 0.05 percent, to finish at 1,137.14. But the Nasdaq Composite Index .IXIC dropped 7.62 points, or 0.33 percent, to 2,301.09.
One bright spot was Family Dollar Stores Inc (FDO.N), up 12.5 percent at $30.92, after the retailer reported first-quarter earnings that beat expectations. Rival 99 Cents Only Stores (NDN.N) climbed 5 percent to $14.02.
The Nasdaq was pushed lower by losses in big-cap technology issues, including Apple Inc (AAPL.O), down 1.6 percent at $210.97, and Microsoft Corp (MSFT.O), down 0.6 percent at $30.77.
Weighing on the Dow was Travelers Cos Inc (TRV.N), down 1.4 percent at $47.94 after FBR cut its rating on the insurer to "market perform" from "outperform."
DJ TRANSPORTS DIVE AS OIL JUMPS
Another obstacle for stocks was the surge in the price of oil to above $83 a barrel, which pushed the Dow Jones Transportation Average .DJT down 0.6 percent. Energy-hungry package-shipping companies like FedEx Corp (FDX.N), down 0.8 percent at $83.84, and UPS (UPS.N), down 0.7 percent at $57.85, make up the Dow Jones Transportation Average.
U.S. February crude oil climbed $1.41, or 1.7 percent, to settle at $83.18 a barrel, the highest close since October 9, 2008, on expectations that cold weather in the United States will increase demand for heating oil.
Diversified manufacturer 3M Co (MMM.N) rose 1.5 percent to $83.72, supporting the blue-chip Dow average after Goldman Sachs added the stock to its Americas "conviction buy" list and said stronger-than-expected results in October and November likely continued in December.
In contrast, Walgreen Co (WAG.N) shed 0.8 percent to $36.72 after the drugstore chain said same-store sales fell in December instead of rising, as Wall Street had expected.
But Dow Chemical Co (DOW.N) jumped 1.8 percent to $31.02 after Barclays Capital upgraded the stock to "overweight" from "equal-weight."
On the economic front, the Institute for Supply Management non-manufacturing index rose to 50.1 in December, showing slight expansion, but was slightly below the 50.5 forecast by economists.
Earlier Wednesday, the ADP Employer Services report showed U.S. private employers shed 84,000 jobs in December, less than a revised 145,000 in November, but exceeding economists' forecast for a loss of 73,000 jobs.
Volume was light on the New York Stock Exchange, with 1.11 billion shares changing hands, below last year's estimated daily average of 2.18 billion. On the Nasdaq, about 2.28 billion shares traded.
Advancing stocks outnumbered declining ones on the NYSE by a ratio of 3 to 2.
But on the Nasdaq, the opposite trend held sway, with about five stocks falling for every four that rose.
by reuters
Fed Worried About Housing Recovery at December Meeting
Some U.S. Federal Reserve officials worried last month that waning government support could snuff out a fragile housing market recovery and a few believed it might be desirable to step up asset purchases.
CNBC.com
"Some participants...noted the risk that improvements in the housing sector might be undercut next year as the Federal Reserve's purchases of (mortgage-backed securities) wind down, the homebuyer tax credits expire, and foreclosures and distress sales continue," minutes of the Fed's Dec. 15-16 policy-setting meeting said.
Labor market weakness remained an important concern for Fed officials, the minutes released on Wednesday showed, with officials saying they expect unemployment to remain high for "quite some time." Views about policy differed.
Some officials said persistently high unemployment might make it desirable at some point to expand or extend large-scale purchases of assets.
However, one policy-maker said improvements in financial markets and in the economy may warrant scaling back the Fed's purchases and reducing holdings over time.
Fed officials said that in general, the outlook for housing was for gains in activity to continue, although some participants viewed the improvements as "quite tentative." Mortgage markets could come under pressure when the MBS purchases wind down, some officials worried.
The Fed has committed to buying $1.25 trillion of mortgage-backed securities by the end of March.
The Fed began buying MBS, mortgage agency debt and longer-term Treasury securities after it had cut rates to near zero in December 2008 but wanted to continue to provide a boost to the economy.
A $300 billion program to purchase longer-date Treasuries ended in October.
At the Dec. 15-16 meeting, the Fed decided to continue keeping interest rates low for an "extended period" to keep the economic recovery going and drive down double-digit unemployment.
But in a more upbeat assessment, the Fed said the economy had "continued to pick up" and that "deterioration in the labor market is abating," a nod to the recent slowdown in the pace of layoffs.
Meanwhile, a Fed economist said Wednesday that the central bank's extraordinary support for the financial system suggests it will have less margin for error to stave off inflation as recovery gathers steam.
The Fed has more than doubled the size of its balance sheet to around $2 trillion, worrying some economists that inflation will result once the economy recovers.
Some of the Fed's special lending facilities are winding down on their own as financial conditions improve, St Louis Fed economist Kevin Kliesen wrote in the regional central bank's quarterly review of business and economic conditions.
"Still this process will not be sufficient to prevent a potentially destabilizing surge in money growth, which means that Fed policymakers will have to adopt other, more aggressive strategies," Kliesen wrote.
Fed officials have said options include paying interest on excess reserves and selling some assets on its balance sheet.
"Regardless of the method used, an improving economy means that the Fed must be prepared to raise its interest rate target to prevent an unwanted expansion in money growth by the banking sector," Kliesen wrote.
Fed Chairman Ben Bernanke and other policy-makers are "quite confident" that they have the tools and determination needed to prevent an unwelcome acceleration in inflation and inflation expectations, Kliesen wrote.
RELATED LINKS
Current DateTime: 11:35:17 06 Jan 2010
LinksList Documentid: 34730275
* See the Fed Minutes Here
* Will Fed See the Next Bubble?
* Service Sector Grows Slightly
* Jobs Growth in December?
* Will Jobs Bill Help?
* Career Check For 2010
* More Economic News
"Unlike previous episodes, though, the magnitude of the policy responses to the financial crisis and the Great Recession suggests that the FOMC's margin of error seems much smaller than at any time in the Fed's history," he wrote.
Kliesen noted there is a "considerable amount" of disagreement among economists about the outlook for inflation over the next couple of years.
Some place more emphasis on high unemployment putting a damper on inflation while others believe the risks of higher inflation have increased due to large budget deficits and the Fed's asset purchase programs.
Kliesen suggested disagreement on the inflation outlook could provide some insight into what lies ahead, noting that past five-year forecasts of the average Consumer Price Index inflation rate from Blue Chip Economic Indicators show that when inflation was relatively high and variable, such as the late 1980s and early 1990s, there was sizable disagreement among forecasters about the medium-term inflation outlook.
"By contrast, during periods when inflation tends to be relatively low and stable, such as the mid-1990s to mid-2000s, forecasters tend to disagree less about the... outlook."
by reuters and cnbc.com
CNBC.com
"Some participants...noted the risk that improvements in the housing sector might be undercut next year as the Federal Reserve's purchases of (mortgage-backed securities) wind down, the homebuyer tax credits expire, and foreclosures and distress sales continue," minutes of the Fed's Dec. 15-16 policy-setting meeting said.
Labor market weakness remained an important concern for Fed officials, the minutes released on Wednesday showed, with officials saying they expect unemployment to remain high for "quite some time." Views about policy differed.
Some officials said persistently high unemployment might make it desirable at some point to expand or extend large-scale purchases of assets.
However, one policy-maker said improvements in financial markets and in the economy may warrant scaling back the Fed's purchases and reducing holdings over time.
Fed officials said that in general, the outlook for housing was for gains in activity to continue, although some participants viewed the improvements as "quite tentative." Mortgage markets could come under pressure when the MBS purchases wind down, some officials worried.
The Fed has committed to buying $1.25 trillion of mortgage-backed securities by the end of March.
The Fed began buying MBS, mortgage agency debt and longer-term Treasury securities after it had cut rates to near zero in December 2008 but wanted to continue to provide a boost to the economy.
A $300 billion program to purchase longer-date Treasuries ended in October.
At the Dec. 15-16 meeting, the Fed decided to continue keeping interest rates low for an "extended period" to keep the economic recovery going and drive down double-digit unemployment.
But in a more upbeat assessment, the Fed said the economy had "continued to pick up" and that "deterioration in the labor market is abating," a nod to the recent slowdown in the pace of layoffs.
Meanwhile, a Fed economist said Wednesday that the central bank's extraordinary support for the financial system suggests it will have less margin for error to stave off inflation as recovery gathers steam.
The Fed has more than doubled the size of its balance sheet to around $2 trillion, worrying some economists that inflation will result once the economy recovers.
Some of the Fed's special lending facilities are winding down on their own as financial conditions improve, St Louis Fed economist Kevin Kliesen wrote in the regional central bank's quarterly review of business and economic conditions.
"Still this process will not be sufficient to prevent a potentially destabilizing surge in money growth, which means that Fed policymakers will have to adopt other, more aggressive strategies," Kliesen wrote.
Fed officials have said options include paying interest on excess reserves and selling some assets on its balance sheet.
"Regardless of the method used, an improving economy means that the Fed must be prepared to raise its interest rate target to prevent an unwanted expansion in money growth by the banking sector," Kliesen wrote.
Fed Chairman Ben Bernanke and other policy-makers are "quite confident" that they have the tools and determination needed to prevent an unwelcome acceleration in inflation and inflation expectations, Kliesen wrote.
RELATED LINKS
Current DateTime: 11:35:17 06 Jan 2010
LinksList Documentid: 34730275
* See the Fed Minutes Here
* Will Fed See the Next Bubble?
* Service Sector Grows Slightly
* Jobs Growth in December?
* Will Jobs Bill Help?
* Career Check For 2010
* More Economic News
"Unlike previous episodes, though, the magnitude of the policy responses to the financial crisis and the Great Recession suggests that the FOMC's margin of error seems much smaller than at any time in the Fed's history," he wrote.
Kliesen noted there is a "considerable amount" of disagreement among economists about the outlook for inflation over the next couple of years.
Some place more emphasis on high unemployment putting a damper on inflation while others believe the risks of higher inflation have increased due to large budget deficits and the Fed's asset purchase programs.
Kliesen suggested disagreement on the inflation outlook could provide some insight into what lies ahead, noting that past five-year forecasts of the average Consumer Price Index inflation rate from Blue Chip Economic Indicators show that when inflation was relatively high and variable, such as the late 1980s and early 1990s, there was sizable disagreement among forecasters about the medium-term inflation outlook.
"By contrast, during periods when inflation tends to be relatively low and stable, such as the mid-1990s to mid-2000s, forecasters tend to disagree less about the... outlook."
by reuters and cnbc.com
Angka Pengangguran Hambat Wall Street
Saham-saham di bursa Wall Street bergerak flat akibat data sektor tenaga kerja swasta yang mengecewakan dan catatan dari hasil pertemuan Federal Reserve terakhir menunjukkan masih adanya kekhawatiran seputar tingginya pengangguran.
Pada perdagangan Rabu (6/1/2010), indeks Dow Jones industrial average (DJIA) ditutup menguat 1,66 poin (0,22%) ke level 10.573,68. Indeks Standard & Poor's 500 juga menguat tipis 0,62 poin (0,05) ke level 1.137,14. Namun Nasdaq melemah tipis 7,62 poin (0,33%) ke level 2.301,09.
Catatan dari hasil pertemuan Federal Reserve yang terakhir pada 15-16 Desember lalu menunjukkan para anggota Dewan Gubernur menunjukkan kekhawaran masalah pengangguran akan tetap meningkat dalam beberapa waktu dan membatasi tingkat pertumbuhan ekonomi.
Data tenaga kerja sektor swasta ADP yang menunjukkan melambatnya PHK sektor swasta pada Desember daripada November juga membuat investor menghentikan langkahnya sejenak sebelum keluarnya data sektor tenaga kerja non-farm pada Jumat besok.
"Pesta besarnya adalah Jumat besok. Data hari ini menekankan segala sesuatunya masih berbaur. Sayakira itu tidak banyak berarti dan saya pikir data yang paling penting akan keluar pada Jumat pagi," ujar Stephen Massocca, managing director Wedbush Morgan seperti dikutip dari Reuters, Kamis (7/1/2010).
Lonjakan harga minyak mentah dunia yang sempat menembus US% 83 per barel menghambat laju saham-saham sektor transportasi. Saham FedEx Corp turun 0,8%, UPS turun 0,7% sementara indeks Dow Jones Transportasi turun 0,6%.
Perdagangan masih tipis, dengan transaksi di New York Stock Exchange hanya 1,11 miliar dibawah rata-rata tahun lalu yang sebanyak 2,18 miliar. Di Nasdaq, transaksi sebanyak 2,28 miliar.
Sumber detik finance
Pada perdagangan Rabu (6/1/2010), indeks Dow Jones industrial average (DJIA) ditutup menguat 1,66 poin (0,22%) ke level 10.573,68. Indeks Standard & Poor's 500 juga menguat tipis 0,62 poin (0,05) ke level 1.137,14. Namun Nasdaq melemah tipis 7,62 poin (0,33%) ke level 2.301,09.
Catatan dari hasil pertemuan Federal Reserve yang terakhir pada 15-16 Desember lalu menunjukkan para anggota Dewan Gubernur menunjukkan kekhawaran masalah pengangguran akan tetap meningkat dalam beberapa waktu dan membatasi tingkat pertumbuhan ekonomi.
Data tenaga kerja sektor swasta ADP yang menunjukkan melambatnya PHK sektor swasta pada Desember daripada November juga membuat investor menghentikan langkahnya sejenak sebelum keluarnya data sektor tenaga kerja non-farm pada Jumat besok.
"Pesta besarnya adalah Jumat besok. Data hari ini menekankan segala sesuatunya masih berbaur. Sayakira itu tidak banyak berarti dan saya pikir data yang paling penting akan keluar pada Jumat pagi," ujar Stephen Massocca, managing director Wedbush Morgan seperti dikutip dari Reuters, Kamis (7/1/2010).
Lonjakan harga minyak mentah dunia yang sempat menembus US% 83 per barel menghambat laju saham-saham sektor transportasi. Saham FedEx Corp turun 0,8%, UPS turun 0,7% sementara indeks Dow Jones Transportasi turun 0,6%.
Perdagangan masih tipis, dengan transaksi di New York Stock Exchange hanya 1,11 miliar dibawah rata-rata tahun lalu yang sebanyak 2,18 miliar. Di Nasdaq, transaksi sebanyak 2,28 miliar.
Sumber detik finance
BI: Pelonggaran Bank 'Sakit' Praktek yang Lazim
Jakarta - Bank Indonesia (BI) menganggap kebijakan memberikan pelonggaran dan menempatkan bank yang seharusnya berada dalam sebuah pengawasan khusus menjadi bank dalam pengawasan intensif merupakan hal yang lazim dilakukan dalam praktek pengawasan.
Mantan Direktur Bidang Pengawasan I, Rusli Simanjuntak mengatakan tidak hanya Bank Century saja yang pernah mendapatkan perlakuan seperti itu namun dalam konteks melakukan penyehatan, bank lain yang bernasib seperti Bank Century juga akan mendapatkan kebijakan yang sama.
"Itu, (memasukkan bank dalam pengawasan intensif yang seharusnya berada dalam pengawasan khusus serta memberikan pelonggaran) merupakan praktek-praktek kelaziman dalam pengawasan," ujar Rusli usai diperiksa Pansus Hak Angket Bank Century di Gedung DPR-RI, Jakarta, Rabu malam (06/01/2009).
Rusli sebelumnya mengakui pernah memberikan kelonggaran kepada Bank Century terkait Surat-Surat Berharga (SSB) yang macet menjadi lancar.
Hal tersebut dilakukan bank sentral sebagai upaya memperbaiki Rasio Kecukupan Modal (CAR) Bank Century yang tercatat minus hingga 132,5% pada bulan Februari 2005.
Namun, lanjut Rusli, dirinya tidak memasukkan kedalam pengawasan khusus dikarenakan adanya kebijakan praktek pengawasan sebagai upaya untuk menyehatkan bank.
Berdasarkan aturan BI, kriteria bank yang masuk dalam pengawasan khusus adalah bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan membahayakan kelangsungan usahanya. Dalam kondisi seperti ini, bank yang bersangkutan dan pemegang saham pengendali diharuskan menyelesaikan permasalahan tersebut dalam waktu enam bulan, dan bisa diperpanjang selama tiga bulan.
Sementara bank dalam pengawasan intensif adalah bank yang juga mengalami kesulitan likuiditas tapi guna menyelesaikannya BI tidak memberikan batas waktu.
"Ini dilakukan sebagai upaya penyehatan bank. Tidak mungkin-kan jika saya ceritakan semua hal yang dilakukan di pengawasan," tuturnya.
Rusli mengibaratkan Bank Century seorang yang sedang sakit keras dan masuk kedalam ICU pasti mendapatkan perlakuan yang lebih dibandingkan dengan sakit biasa.
"Apa kepada orang sakit keras tersebut ditangani dengan menggunakan norma-norma yang umum?, Pasti tidak, dan itu kembali lagi dalam konteks sebagai upaya penyehatan," tutur Rusli.
Ia juga menegaskan, perlakuan kebijakan tersebut tidak hanya dilakukan kepada Bank Century saja.
"(kepada bank lain) kita lakukan juga, tapi memang tidak diumumkan," tambahnya.
Lebih lanjut Rusli mengatakan masalah Bank Century ini merupakan masalah yang sudah cukup lama.
"Jadi ini barang yang sama, bedanya hanya beda tanggal dan kriterianya yang berubah," tandasnya.
sumber detik finance
Mantan Direktur Bidang Pengawasan I, Rusli Simanjuntak mengatakan tidak hanya Bank Century saja yang pernah mendapatkan perlakuan seperti itu namun dalam konteks melakukan penyehatan, bank lain yang bernasib seperti Bank Century juga akan mendapatkan kebijakan yang sama.
"Itu, (memasukkan bank dalam pengawasan intensif yang seharusnya berada dalam pengawasan khusus serta memberikan pelonggaran) merupakan praktek-praktek kelaziman dalam pengawasan," ujar Rusli usai diperiksa Pansus Hak Angket Bank Century di Gedung DPR-RI, Jakarta, Rabu malam (06/01/2009).
Rusli sebelumnya mengakui pernah memberikan kelonggaran kepada Bank Century terkait Surat-Surat Berharga (SSB) yang macet menjadi lancar.
Hal tersebut dilakukan bank sentral sebagai upaya memperbaiki Rasio Kecukupan Modal (CAR) Bank Century yang tercatat minus hingga 132,5% pada bulan Februari 2005.
Namun, lanjut Rusli, dirinya tidak memasukkan kedalam pengawasan khusus dikarenakan adanya kebijakan praktek pengawasan sebagai upaya untuk menyehatkan bank.
Berdasarkan aturan BI, kriteria bank yang masuk dalam pengawasan khusus adalah bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan membahayakan kelangsungan usahanya. Dalam kondisi seperti ini, bank yang bersangkutan dan pemegang saham pengendali diharuskan menyelesaikan permasalahan tersebut dalam waktu enam bulan, dan bisa diperpanjang selama tiga bulan.
Sementara bank dalam pengawasan intensif adalah bank yang juga mengalami kesulitan likuiditas tapi guna menyelesaikannya BI tidak memberikan batas waktu.
"Ini dilakukan sebagai upaya penyehatan bank. Tidak mungkin-kan jika saya ceritakan semua hal yang dilakukan di pengawasan," tuturnya.
Rusli mengibaratkan Bank Century seorang yang sedang sakit keras dan masuk kedalam ICU pasti mendapatkan perlakuan yang lebih dibandingkan dengan sakit biasa.
"Apa kepada orang sakit keras tersebut ditangani dengan menggunakan norma-norma yang umum?, Pasti tidak, dan itu kembali lagi dalam konteks sebagai upaya penyehatan," tutur Rusli.
Ia juga menegaskan, perlakuan kebijakan tersebut tidak hanya dilakukan kepada Bank Century saja.
"(kepada bank lain) kita lakukan juga, tapi memang tidak diumumkan," tambahnya.
Lebih lanjut Rusli mengatakan masalah Bank Century ini merupakan masalah yang sudah cukup lama.
"Jadi ini barang yang sama, bedanya hanya beda tanggal dan kriterianya yang berubah," tandasnya.
sumber detik finance
Langganan:
Postingan (Atom)