ANM World Wide

ANM World Wide
Earth

Jumat, 22 Oktober 2010

China Tuding AS Penyebab Perang Mata Uang

BEIJING - Media China menilai kebijakan moneter longgar yang diterapkan Amerika Serikat (AS) adalah penyebab perang mata uang.AS juga menerapkan standar ganda atas nilai tukar yuan.

“Beberapa politisi Amerika berpendapat bahwa rasional bagi AS mencetak uang dan mempertahankan nilai tukar dolar AS pada level rendah,tapi kebijakan ini ilegal bagi negara lain yang mempertahankan mata uang mereka rendah guna memproteksi ekonomi dan keamanan keuangan mereka. Ini adalah standar ganda,” kata Xinhua.

Kritik atas kebijakan moneter Paman Sam dan pelemahan nilai tukar dolar AS seiring keputusan AS tetap menekan kebijakan Pemerintah China atas yuan. Pengambil kebijakan di AS mengklaim bahwa yuan terlalu rendah sehingga menyebabkan ketidakseimbangan perdagangan global.

”Kebijakan ’mencetak uang baru’ dan menahan suku bunga mendekati nol merupakan penyebab utama perang mata uang,”ujar media Pemerintah China tersebut.

Jumat lalu AS menunda pengumuman laporan tentang mata uang China hingga usai Pertemuan Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Seoul, Korea Selatan, yang akan digelar pertengahan November mendatang. Penundaan ini menurunkan ketegangan AS-China. Kritik Xinhua juga dipicu oleh pertemuan Dana Moneter Internasional (IMF) dengan Bank Sentral China (PBOC) di Shanghai kemarin.

Pertemuan ini akan membahas upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mendongkrak pemulihan global. Salah satu yang dibahas adalah kekhawatiran adanya perang mata uang global yang dikhawatirkan menghancurkan pemulihan global. “PBOC menjadi tuan rumah dalam pertemuan pemimpin dan pejabat dari Asia, Afrika, Eropa, Amerika Utara dan Selatan,” ungkap IMF.

Saat ini China didesak untuk mengizinkan terjadinya penguatan atas yuan. Beberapa kritikus menilai yuan terlalu murah 40 persen sehingga eksportir China mendapatkan keuntungan tidak adil.Per Juni lalu PBOC mengeluarkan reformasi yuan.Sejak saat itu nilai tukar yuan terhadap dolar AS menguat kurang dari tiga persen.

Beberapa negara dipimpin AS dan IMF terus mendesak China, tapi Negeri Panda menolak revaluasi yang dilakukan secara cepat.

Kemarin PBOC telah mematok nilai tukar yuan di 6,6541 per USD1 atau lebih rendah dari posisi Jumat lalu di 6,6497 per USD1. Beberapa negara, termasuk Jepang,telah melaksanakan intervensi untuk menurunkan nilai tukar mereka.Langkah ini memicu perang mata uang seiring upaya beberapa negara mendongkrak ekspor mereka yang terguncang oleh pelemahan global.

Media China lainnya, People’s Daily,melaporkan bahwa Negeri Tirai Bambu tidak akan menuruti tekanan dunia internasional. Tekanan Barat yang dipimpin AS dinilai akan merusak ekonomi global.

“Jika yuan menguat secara cepat akibat tekanan dari AS dan beberapa negara lain, itu berarti China telah memanipulasi nilai tukarnya,”papar Periset Chinese Academy of Social Sciences-lembaga think thank Pemerintah China- Wang Jun.

Dia menambahkan, bukankan manipulasi yuan merupakan hal yang dikritik oleh AS. Wan Jun menjelaskan,tekanan diintervensi yuan akan turun karena surplus perdagangan China telah mencapai puncak.“Terjadi penurunan menjadi USD16,9 miliar pada September, terendah dalam lima bulan terakhir,” paparnya.

Minta AS Lebih Banyak Mendengar

Pada November AS akan menghadapi pemilu. Itulah mengapa mereka menekan China agar menaikkan yuan.Tentu Beijing menolak yuan dipakai sebagai kambing hitam keterpurukan ekonomi AS. Ekonom Chinese Academy of Social Science, He Fan, menilai China mestinya menghindari terjadinya perang mata uang.

“Kita juga khawatir (perang mata uang). Berdasarkan pengalaman sejarah, perang mata uang dalam skala yang besar menyedihkan.Tapi kita akan terus menghadapi konflik ini, terutama di wilayah Asia Timur. Negara seperti Jepang dan Korea Selatan hanya memiliki ruang yang terbatas di kebijakan moneternya,” ungkapnya.

Keputusan Beijing untuk mempertahankan yuan membuat beberapa negara di Asia menderita akibat nilai tukar mata uang mereka terhadap dolar AS menguat secara signifikan. Nilai tukar euro juga melonjak meski Eropa menghadapi permasalahan utang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut