Indonesia Tak Ikut-Ikutan "Perang Mata Uang"
IMF menuding sejumlah negara, khususnya China melakukan perang mata uang
VIVAnews - Pemerintah menekankan Indonesia bukan termasuk, dan tidak akan meniru negara lain yang terlibat dalam 'perang mata uang' untuk mendongkrak kinerja ekspor.
Deputi Menko Perekonomian Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan, Erlangga Mantik mengatakan hal tersebut menanggapi pernyataan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Dominique Strauss-Kahn.
Perang mata uang adalah upaya beberapa negara yang mengintervensi mata uang negaranya agar dapat lebih rendah dari yang lain sehingga memperkuat daya saing produk ekspor mereka.
Di Indonesia karena menganut rezim bebas, lanjut Erlangga, mata uang rupiah terus bergerak berdasarkan pergerakan pasar. "Pemerintah Indonesia tidak bisa mematok mata uang rupiah dalam nilai yang rendah guna mendorong peningkatan laju ekspor," kata Erlangga di Kantor Menko Perekonomian, Kamis 7 Oktober 2010.
Erlangga mengecualikan Indonesia tidak seperti apa yang disampaikan oleh Dominique Strauss-Kahn, Senin lalu dalam pertemuan Dana Moneter Internasional (IMF) terkait perang mata uang.
"Kita sekarang tengah menghadapi perang mata uang," kata Strauss-Khann. Pernyataan Strauss-Khann ini menyikapi nilai mata uang China yang masih undervalue karena intervensi pemerintah. Akibatnya posisi negara-negara Eropa yang mata uangnya terus menguat mengalami pelemahan daya saing ekspor.
Menurut Erlangga Mantik, pemerintah Indonesia tidak bisa begitu saja secara sepihak mengintervensi rupiah. Karena rezim devisa bebas adalah aturan yang membebaskan ke luar masuknya valuta asing dalam suatu negara dan dengan sistem ini hasil devisa ekspor dapat ditaruh di luar negeri tanpa ada kewajiban untuk menaruhnya di dalam sehingga rupiah akan selalu berada pada posisi labil.
Erlangga menjelaskan sejumlah negara mungkin menekan mata uangnya dalam nilai yang rendah dikarenakan belajar dari pengalaman Jepang pada beberapa tahun lampau. Tapi Erlangga tidak merinci negara mana saja yang melakukan intervensi mata uang ini.
"Itu (intervensi) karena Jepang 20 tahun lalu salah mengambil kebijaksanaan. Jepang mengapresisasi yen nya sehingga secara internasional yen menjadi kuat tapi ekspor mereka jeblok," kata dia.
Dengan pengalaman itu maka banyak negara berlomba membuat nilai mata uangnya lebih rendah. Harapannya adalah nilai ekspornya bisa meningkat.
Menurut Erlangga, penguatan rupiah yang saat ini terus terjadi dikarenakan besarnya arus modal asing yang masuk ke Indonesia.
Meski diakui mengancam daya saing produk ekspor Indonesia tapi positifnya kewajiban atas pembayaran utang juga menurun. "Kita tetap saja bergerak sesuai asumsi kita di APBN. Dalam level tertentu BI biasanya akan melakukan intervensi," kata dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar