ANM World Wide

ANM World Wide
Earth

Jumat, 22 Oktober 2010

Why Do Currency Wars Start?

Why Do Currency Wars Start?
Because when one country plays with its exchange rate, everyone else has to.
BY JOSHUA E. KEATING | OCTOBER 14, 2010

Responding to Japan's unilateral intervention to weaken the yen, followed by similar moves from Colombia, Thailand, South Korea, and other countries, Brazilian Finance Minister Guido Mantega recently declared that the world is "in the midst of an international currency war." In an effort to recover from the global economic crisis, these countries are attempting to stimulate their exports by making their currencies cheaper. These efforts add to the longstanding tensions between Western nations and China over the latter's monetary policy, which many say keeps the yuan artificially low. Could things be getting out of hand?

IMF Managing Director Dominique Strauss-Kahn, among others, has also warned against countries using currencies as "policy weapons." French Finance Minister Christine Lagarde has urged countries to talk about "peace and not war." But U.S. Treasury Secretary Timothy Geithner has denied that there's a currency war going on and says there's "no risk" of one breaking out.

So what exactly is a currency war and how do we know when we're in one, anyway?

We are when we say we are. A "currency war" is more of a political than an economic condition. Governments frequently intervene in their currency markets, increasing the money supply to stimulate trade and reduce unemployment, or decreasing the supply to combat inflation. The problem is that in an interlinked global economy, currencies don't rise or fall in a vacuum. When China keeps the yuan artificially low versus the U.S. dollar, it keeps the cost of Chinese goods low in the United States, contributing to a trade imbalance. That provides a steep incentive for the United States to retaliate by lowering its currency as well. Of course, becuase two countries can only have one exchange rate, this race to the bottom isn't likely to benefit either party.

When many countries devalue their currencies at the same time in an effort to make their exports more competitive, it forces other countries -- Brazil for instance -- to join in to prevent their currencies from rising. Countries often see currency wars as a zero-sum game -- one wins and the others lose. But the widespread devaluation can have a devastating effect on all. Unstable exchange rates can deter international investment, slowing the pace of global economic recovery. And of course, currency wars can have secondary political effects. When countries are fighting over currency, they're less likely to agree to bilateral trade. Additionally, currency pressures could make China less likely to go along with U.S. efforts to contain Iran or North Korea.

Unlike real wars, currency wars don't have defined start dates, but they can be ended with something like peace treaties. In 1936, Britain, France, the United States signed the Tripartite Agreement to address the currency imbalances that had resulted from Britain and the United States leaving the gold standard in the midst of the Great Depression. On the eve of World War II, with an even greater enemy on the horizon, the three countries agreed to refrain from devaluing their currencies.

In 1985, when Japan not China was the rising Asian economic power, the governments of Britain, France, Japan, the United States, West Germany signed the Plaza Accord, under which the dollar would be allowed to depreciate against the yen.

Some are now calling for a new international agreement to stabilize the current round of depreciation. But, obviously, the world economy has changed quite a bit in the last 25 years. The growing power of emerging economies such as Brazil, China, India, and South Korea make it much harder for a few finance ministers in a hotel room to hammer out a deal. Moreover, previous efforts at stabilizing global exchange rates have caused the parties involved to lose faith when they're ultimately undermined by domestic policies.

So as with real wars, declaring one is often far easier than ending it.

Thanks to Barry Eichengreen, professor of economics and political science at the University of California, Berkeley.

China Tuding AS Penyebab Perang Mata Uang

BEIJING - Media China menilai kebijakan moneter longgar yang diterapkan Amerika Serikat (AS) adalah penyebab perang mata uang.AS juga menerapkan standar ganda atas nilai tukar yuan.

“Beberapa politisi Amerika berpendapat bahwa rasional bagi AS mencetak uang dan mempertahankan nilai tukar dolar AS pada level rendah,tapi kebijakan ini ilegal bagi negara lain yang mempertahankan mata uang mereka rendah guna memproteksi ekonomi dan keamanan keuangan mereka. Ini adalah standar ganda,” kata Xinhua.

Kritik atas kebijakan moneter Paman Sam dan pelemahan nilai tukar dolar AS seiring keputusan AS tetap menekan kebijakan Pemerintah China atas yuan. Pengambil kebijakan di AS mengklaim bahwa yuan terlalu rendah sehingga menyebabkan ketidakseimbangan perdagangan global.

”Kebijakan ’mencetak uang baru’ dan menahan suku bunga mendekati nol merupakan penyebab utama perang mata uang,”ujar media Pemerintah China tersebut.

Jumat lalu AS menunda pengumuman laporan tentang mata uang China hingga usai Pertemuan Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Seoul, Korea Selatan, yang akan digelar pertengahan November mendatang. Penundaan ini menurunkan ketegangan AS-China. Kritik Xinhua juga dipicu oleh pertemuan Dana Moneter Internasional (IMF) dengan Bank Sentral China (PBOC) di Shanghai kemarin.

Pertemuan ini akan membahas upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mendongkrak pemulihan global. Salah satu yang dibahas adalah kekhawatiran adanya perang mata uang global yang dikhawatirkan menghancurkan pemulihan global. “PBOC menjadi tuan rumah dalam pertemuan pemimpin dan pejabat dari Asia, Afrika, Eropa, Amerika Utara dan Selatan,” ungkap IMF.

Saat ini China didesak untuk mengizinkan terjadinya penguatan atas yuan. Beberapa kritikus menilai yuan terlalu murah 40 persen sehingga eksportir China mendapatkan keuntungan tidak adil.Per Juni lalu PBOC mengeluarkan reformasi yuan.Sejak saat itu nilai tukar yuan terhadap dolar AS menguat kurang dari tiga persen.

Beberapa negara dipimpin AS dan IMF terus mendesak China, tapi Negeri Panda menolak revaluasi yang dilakukan secara cepat.

Kemarin PBOC telah mematok nilai tukar yuan di 6,6541 per USD1 atau lebih rendah dari posisi Jumat lalu di 6,6497 per USD1. Beberapa negara, termasuk Jepang,telah melaksanakan intervensi untuk menurunkan nilai tukar mereka.Langkah ini memicu perang mata uang seiring upaya beberapa negara mendongkrak ekspor mereka yang terguncang oleh pelemahan global.

Media China lainnya, People’s Daily,melaporkan bahwa Negeri Tirai Bambu tidak akan menuruti tekanan dunia internasional. Tekanan Barat yang dipimpin AS dinilai akan merusak ekonomi global.

“Jika yuan menguat secara cepat akibat tekanan dari AS dan beberapa negara lain, itu berarti China telah memanipulasi nilai tukarnya,”papar Periset Chinese Academy of Social Sciences-lembaga think thank Pemerintah China- Wang Jun.

Dia menambahkan, bukankan manipulasi yuan merupakan hal yang dikritik oleh AS. Wan Jun menjelaskan,tekanan diintervensi yuan akan turun karena surplus perdagangan China telah mencapai puncak.“Terjadi penurunan menjadi USD16,9 miliar pada September, terendah dalam lima bulan terakhir,” paparnya.

Minta AS Lebih Banyak Mendengar

Pada November AS akan menghadapi pemilu. Itulah mengapa mereka menekan China agar menaikkan yuan.Tentu Beijing menolak yuan dipakai sebagai kambing hitam keterpurukan ekonomi AS. Ekonom Chinese Academy of Social Science, He Fan, menilai China mestinya menghindari terjadinya perang mata uang.

“Kita juga khawatir (perang mata uang). Berdasarkan pengalaman sejarah, perang mata uang dalam skala yang besar menyedihkan.Tapi kita akan terus menghadapi konflik ini, terutama di wilayah Asia Timur. Negara seperti Jepang dan Korea Selatan hanya memiliki ruang yang terbatas di kebijakan moneternya,” ungkapnya.

Keputusan Beijing untuk mempertahankan yuan membuat beberapa negara di Asia menderita akibat nilai tukar mata uang mereka terhadap dolar AS menguat secara signifikan. Nilai tukar euro juga melonjak meski Eropa menghadapi permasalahan utang

Indonesia Tak Ikut-Ikutan "Perang Mata Uang"

Indonesia Tak Ikut-Ikutan "Perang Mata Uang"
IMF menuding sejumlah negara, khususnya China melakukan perang mata uang

VIVAnews - Pemerintah menekankan Indonesia bukan termasuk, dan tidak akan meniru negara lain yang terlibat dalam 'perang mata uang' untuk mendongkrak kinerja ekspor.

Deputi Menko Perekonomian Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan, Erlangga Mantik mengatakan hal tersebut menanggapi pernyataan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Dominique Strauss-Kahn.

Perang mata uang adalah upaya beberapa negara yang mengintervensi mata uang negaranya agar dapat lebih rendah dari yang lain sehingga memperkuat daya saing produk ekspor mereka.

Di Indonesia karena menganut rezim bebas, lanjut Erlangga, mata uang rupiah terus bergerak berdasarkan pergerakan pasar. "Pemerintah Indonesia tidak bisa mematok mata uang rupiah dalam nilai yang rendah guna mendorong peningkatan laju ekspor," kata Erlangga di Kantor Menko Perekonomian, Kamis 7 Oktober 2010.

Erlangga mengecualikan Indonesia tidak seperti apa yang disampaikan oleh Dominique Strauss-Kahn, Senin lalu dalam pertemuan Dana Moneter Internasional (IMF) terkait perang mata uang.

"Kita sekarang tengah menghadapi perang mata uang," kata Strauss-Khann. Pernyataan Strauss-Khann ini menyikapi nilai mata uang China yang masih undervalue karena intervensi pemerintah. Akibatnya posisi negara-negara Eropa yang mata uangnya terus menguat mengalami pelemahan daya saing ekspor.

Menurut Erlangga Mantik, pemerintah Indonesia tidak bisa begitu saja secara sepihak mengintervensi rupiah. Karena rezim devisa bebas adalah aturan yang membebaskan ke luar masuknya valuta asing dalam suatu negara dan dengan sistem ini hasil devisa ekspor dapat ditaruh di luar negeri tanpa ada kewajiban untuk menaruhnya di dalam sehingga rupiah akan selalu berada pada posisi labil.

Erlangga menjelaskan sejumlah negara mungkin menekan mata uangnya dalam nilai yang rendah dikarenakan belajar dari pengalaman Jepang pada beberapa tahun lampau. Tapi Erlangga tidak merinci negara mana saja yang melakukan intervensi mata uang ini.

"Itu (intervensi) karena Jepang 20 tahun lalu salah mengambil kebijaksanaan. Jepang mengapresisasi yen nya sehingga secara internasional yen menjadi kuat tapi ekspor mereka jeblok," kata dia.

Dengan pengalaman itu maka banyak negara berlomba membuat nilai mata uangnya lebih rendah. Harapannya adalah nilai ekspornya bisa meningkat.

Menurut Erlangga, penguatan rupiah yang saat ini terus terjadi dikarenakan besarnya arus modal asing yang masuk ke Indonesia.

Meski diakui mengancam daya saing produk ekspor Indonesia tapi positifnya kewajiban atas pembayaran utang juga menurun. "Kita tetap saja bergerak sesuai asumsi kita di APBN. Dalam level tertentu BI biasanya akan melakukan intervensi," kata dia.

Negara Maju Perang Mata Uang, RI 'Nonton' Saja

Negara Maju Perang Mata Uang, RI 'Nonton' Saja
Herdaru Purnomo - detikFinance

Jakarta - Pemerintah Indonesia hanya menjadi penonton ketika para negara-negara maju dunia berdiskusi soal masalah perang mata uang yang berpotensi memicu krisis ekonomi baru.

Menteri Agus Martowardojo mengatakan, pemerintah lebih cenderung memperhatikan dan menjaga agar efek yang ditimbulkan akibat perang mata uang tersebut.

"Sebetulnya ini (perang mata uang) lebih diskusi di negara-negara besar dan kita memperhatikan menjaga agar jangan dampak di dunia itu berpengaruh di Indonesia secara yang kita tidak duga," ujarnya ketika ditemui di Gedung DPR-RI, Senayan, Jakarta, Rabu (20/10/2010).

Menurut Agus, negara-negara maju lebih merasakan adanya perang mata uang tersebut karena nilai tukar negara China yang sengaja dibuat melemah mengakibatkan penguatan besar untuk negara-negara tersebut.

"Karena satu hal yakni yang paling utama ekonomi global masih belum sehat," katanya.

Pada bagian lain, Agus mengatakan adanya kenaikan suku bunga yang juga dilakukan China juga tidak berpengaruh besar. "Itu hanya gejolak-gejolak sedikit. Tapi tidak terlalu mengagetkan," katanya.

Sekarang, lanjut Agus, bank sentral sudah mempunyai kebijakan sendiri. "Seperti SBI yang di-hold 1 bulan. Nah kalau tidak di-hold 1 bulan, itu sudah kaget-kagetan," tuturnya.

Lebih lanjut Agus mengatakan, kenaikan suku bunga tersebut yang menimbulkan gejolak sedikit akan kembali netral dalam waktu dekat.

Pemerintah Waspadai Perang Mata Uang Negara Maju

Pemerintah Waspadai Perang Mata Uang Negara Maju

Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah akan mewaspadai perang mata uang (currency wars) yang dilakukan negara-negara maju, dalam rangka meningkatkan ekspornya, karena dapat menganggu stabilitas perekonomian dunia.

"Ini lebih merupakan diskusi di negara-negara besar dan kita memperhatikan (serta) menjaga agar jangan dampak di dunia itu berpengaruh di Indonesia secara yang kita tidak duga," ujar Menteri Keuangan Agus Martowardojo saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu.

Menurut Menkeu, pemerintah memahami bahwa di beberapa negara maju merasa nilai tukar Yuan melemah dan membuat perekonomian menjadi lebih sulit, namun China juga tidak dapat langsung memperkuat mata uangnya.

"Tapi kita juga memahami kalau China tidak bisa langsung memperkuat "currency"nya. Karena mereka sudah lakukan dan yang paling utama global ekonomi masih belum sehat," ujarnya.

Sementara mengenai keputusan bank sentral China yang menaikkan bunga sebesar 0,25 persen sehingga kini suku bunga simpanan jangka waktu satu tahun menjadi 2,5 persen, Menkeu mengatakan hal tersebut tidak terlalu mengkhawatirkan.

"Itu hanya gejolak-gejolak sedikit. Tapi tidak terlalu mengagetkan. Sekarang kan BI sudah punya punya `policy` yang harus di-hold satu bulan," ujarnya.

Ia mengatakan kewajiban pemilik Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menahan portofolionya minimal satu bulan sebagai bagian dari paket kebijakan penguatan manajemen moneter dan pengembangan pasar keuangan, sudah cukup memadai.

"Itu sudah memadai, sementara cukup memadai tapi nanti kalau dirasakan perlu dan kita mewaspadai inflasi. Moga-moga inflasi, likuiditas terkendali dan kita monitor secara berkala," ujar Menkeu.(*)
(T.S034/Z002/R009)

Minggu, 25 Juli 2010

Ekspor CPO Juni Naik 96 Ribu Ton

Jakarta - Volume ekspor Indonesia untuk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya mencapai 1,135 juta ton pada bulan Juni, atau meningkat 96 ribu ton dari bulan Mei lalu yang sebesar 1,039 juta ton.

Kenaikan ini didorong peningkatan kebutuhan dari Bangladesh, India dan Pakistan.

Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Fadhil Hasan, peningkatan ekspor CPO Indonesia ketiga negara tersebut karena pada saat menjelang bulan Ramadhan, produsen minyak makan dan makanan di ketiga negara itu menyiapkan pasokan bahan baku yang salah salah satunya berasal dari minyak sawit Indonesia.

"Tentu saja, mereka akan terus menambah pembelian minyak sawit hingga mendekati Hari Raya Idul Fitri," ujar Fadhil dalam siaran persnya yang diterima detikFinance, Minggu (25/7/2010)

Ia mencontohkan, Bangladesh mengimpor CPO dan produk turunannya dari Indonesia sebesar 58.779 ton pada Juni ini, dibandingkan bulan sebelumnya hanya 30.800 ton.

Sama halnya dengan Pakistan yang mulai membeli kembali CPO dan produk turunan dari Indonesia berjumlah 19.250 ton.

Sedangkan India mengimpor CPO dari Indonesia sebesar 365.910 ton, RBD Olein sebanyak 73.050 ton, Crude Olein berjumlah 27.800 ton, RBD Palm Oil (PO) sebesar 1.000 ton dan PFAD (Palm Fatty Acid Distillate) 8.270 ton.

" Ini berarti, total volume impor CPO dan produk turunannya mencapai 476.030 ton pada Juni ini, ketimbang bulan Mei hanya 328.102 ton," jelasnya.

Meskipun kampanye negatif gencar dilakukan, lanjut Fadhil, namun ekspor CPO dan produk turunan Indonesia ke Eropa tetap stabil berjumlah 231.987 ton untuk bulan ini. Bahkan, khusus permintaan CPO meningkat menjadi 173.262 ton di Juni ini dari bulan Mei yang sebesar 136.562 ton.

"Untuk produk turunan CPO, Eropa mengimpor dari Indonesia antara lain RBD PO sebanyak 32.605 ton, RBD Olein berjumlah 2.000 ton, RBD Stearin sebesar 21.619 ton dan PFAD sebanyak 2.500 ton," paparnya.

by detik finance

BPH Migas Usulkan SPBU Baru Hanya Jual Pertamax Cs

Jakarta - Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengusulkan agar seluruh Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) baru hanya menjual
Pertamax Cs. Hal ini dilakukan untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi di masyarakat.

“Saya usulkan SPBU baru yang akan beroperasi sebaiknya hanya menjual BBM non subsidi,” ujar Kepala BPH Migas, Tubagus Haryono saat
berbincang dengan detikFinance, Minggu (25/7/2010).

Menurut dia, langkah ini merupakan cara yang efektif untuk menekan pemakaian premium dan solar agar subsidi BBM dalam anggaran pendapatan
dan belanja negara (APBN) bisa lebih dikendalikan.

Pasalnya, jika pemerintah tidak melakukan langkah-langkah pengendalian, lanjut dia, maka lonjakan ini akan terus terjadi, seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan juga terus meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di tanah air.

Pda tahun ini saja, Tubagus memperkirakan konsumsi BBM bersubsidi akan melonjak mencapai 40,1 juta kiloliter (KL), dari kuota BBM bersubsidi dalam APBN-P 2010 hanya dipatok di level 36,5 juta KL.

“Saya usulkan ini karena kalau tidak dibatasi maka konsumsi BBM bersubsidi ke depan akan terus meningkat. SPBU yang baru kan banyak, nah itu harusnya jual BBM non subsidi. Sedangkan kalau yang sudah ada sekarang, pelan-pelan diarahkan ke sana,” jelasnya. Ia menambahkan, pada tahap awal hal ini bisa diterapkan di kawasan-kawasan elit Jakarta. "Itu bisa diterapkan di SPBU-SPBU baru yang ada daerah-daerah elit di Jakarta," tambahnya.

by detik finance

RI Butuh Dana US$ 96,2 Miliar Untuk Listrik

Jakarta - Indonesia membutuhkan dana sebesar US$ 96,2 miliar untuk memperkuat sistem kelistrikan di tanah air hingga tahun 2019.

Dari total kebutuhan dana tersebut, sebagian besar akan dialokasikan untuk membiayai pembangunan pembangkit yang dibangun PT PLN (Persero) dan juga investor listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) sebesar US$ 70,5 miliar.

"Sementara untuk investasi penyaluran sebesar US$ 14,3 miliar dan investasi distribusi sebesar US$ 11,3 miliar," demikian disampaikan dalam data Rencana Umum Penyediaan Listrik (RUPTL) PLN tahun 2010-2019 yang dikutip detikFinance, Minggu (25/7/2010),

Khusus untuk pembangkit, pada periode 2010-2019 PLN dan swasta direncanakan akan membangun pembangkit-pembangkit dengan total kapasitas sebesar 55.468 MW. Di mana sebesar 31.951 MW akan dibangun oleh PLN dan IPP sebesar 23.156 MW.

Sejalan dengan pengembangan pembangkit ini, diperlukan pengembangan transmisi sepanjang 42.505 kms, yang terdiri atas 4.318 kms SUTET 500
kV AC, 1.100 kms transmisi 500 kV HVDC, 462 kms transmisi 250 kV HVDC, 5.602 kms transmisi 275 kV AC, 29.396 kms SUTT 150 kV, 2.428 kms SUTT
70 kV.

Penambahan trafo yang diperlukan adalah sebesar 114.132 MVA yang terdiri atas 64.031 MVA trafo 150/20 kV, 2.875 MVA 70/20 kV dan 32.328 MVA trafo interbus IBT 500/150 kV, 9.875 MVA IBT 275/150 kV, IBT 2.423 MVA IBT 150/70 kV serta 3,600 MVA HVDC trafo konverter.

Untuk mengantisipasi pertumbuhan penjualan energi listrik untuk periode 2010-2019 diperlukan tambahan jaringan tegangan menengah 172.458 kms, tegangan rendah 236.835 kms dan kapasitas trafo distribusi 33.412 MVA.

BUMN listrik itu memperkirakan penjualan tenaga listrik pada tahun 2019 akan mencapai 327.3 TWh, atau mengalami pertumbuhan rata-rata 9.1% selama 10 tahun mendatang.

“Di mana beban puncak pada tahun 2019 diproyeksikan akan mencapai 59.863 MW," jelas data itu.

by detik finance

Kamis, 08 Juli 2010

Koreksi Tajam Saham Telkom Pangkas Laju IHSG

Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup hanya naik 14 poin pada perdagangan sesi I hari ini. Pelemahan saham Telkom dan sejumlah saham perkebunan serta konsumsi memicu pengikisan laju kenaikan IHSG.

Mengawali perdagangan IHSG dibuka naik tipis ke level 2.902,634 dan kemudian sempat menguat ke level 2.936,259, naik 34 poin dari penutupan kemarin di level 2.902,044.

Penguatan sebagian besar saham-saham unggulan sempat mengangkat IHSG cukup tinggi di awal perdagangan. Penopang utamanya saham-saham sektor komoditas dan perbankan.

Sayangnya, pembalikan arah harga sejumlah saham di sektor perkebunan sawit dan konsumsi, serta pelemahan saham sektor infrastruktur lebih dalam dipicu oleh koreksi saham Telkom (TLKM) mengikis laju IHSG cukup besar. Penguatan saham sektor pertambangan juga ikutan terkikis setelah sempat melambung tinggi di awal perdagangan.

Untungnya penguatan saham-saham sektor perbankan masih cukup kuat diiringi dengan penguatan saham sektor pertambangan dan tentunya penguatan saham Astra International (ASII). IHSG pun berhasil bertahan di zona positif, meskipun tidak sebesar indeks-indeks saham Asia lainnya yang rata-rata menguat lebih dari 1%.

Penguatan tajam bursa Wall Street tadi malam lebih dari 2% berhasil membuat indeks Nikkei 225 menguat tinggi pagi ini yang kemudian diikuti dengan penguatan indeks Hang Seng. Hampir seluruh bursa-bursa di Asia mengalami kenaikan di atas 1%, kecuali bursa Shanghai yang kembali jatuh ke teritori negatif dan IHSG yang mulai mengendur.

Pada perdagangan Kamis (8/7/2010) sesi I, IHSG ditutup naik 14,875 poin (0,51%) ke level 2.916,919. Indeks LQ 45 juga naik 1,9 poin (0,33%) ke level 565,694.

Investor asing juga mencatat pembelian bersih sebesar Rp 73 miliar.

Perdagangan berjalan cukup ramai dengan frekuensi transaksi di seluruh pasar 58.036 kali pada volume 2,803 miliar lembar saham senilai Rp 2,126 triliun. Sebanyak 114 saham naik, 62 saham turun dan 65 saham stagnan.

Bursa-bursa regional Asia sebagian besar menguat cukup tinggi:

* Indeks Shanghai turun tipis 7,42 poin (0,31%) ke level 2.413,70.
* Indeks Hang Seng menguat 291,29 poin (1,47%) ke level 20.148,36.
* Indeks Nikkei 225 naik tajam 237,91 poin (2,56%) ke level 9.517,56.
* Indeks Strait Times menguat 34,77 poin (1,22%) ke level 2.895,80.



Saham-saham yang naik harganya di top gainer antara lain Astra International (ASII) naik Rp 1.400 ke Rp 47.650, United Tractors (UNTR) naik Rp 400 ke Rp 18.800, Bank Jabar Banten (BJBR) naik Rp 300 ke Rp 900, BRI (BBRI) naik Rp 100 ke Rp 9.250.

Saham-saham yang turun harganya di top loser antara lain Astra Agro (AALI) turun Rp 300 ke Rp 18.750, Telkom (TLKM) turun Rp 250 ke Rp 7.650, Gudang Garam (GGRM) turun Rp 150 ke Rp 34.850, Adira (ADMF) turun Rp 100 ke Rp 9.500, Lonsum (LSIP) turun Rp 50 ke Rp 8.000.

by detik finance

Rabu, 05 Mei 2010

IHSG Dibayangi Anjloknya Wall Street

Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin akhirnya ditutup melemah meski sempat menciptakan rekor tertingginya di sesi I. Profit taking atas saham-saham berkapitalisasi besar akhirnya memaksa IHSG mendarat di teritori negatif.

Pada perdagangan Selasa (4/5/2010), IHSG akhirnya ditutup melemah 1,880 poin (0,06%) ke level 2.959,015. Indeks LQ 45 juga melemah tipis 0,317 poin (0,06%) ke level 572,215.

Namun kini IHSG kembali digerayangi sentimen negatif. IHSG diprediksi akan semakin menjauh dari titik tertingginya menyusul anjloknya bursa Wall Street. Kekhawatiran masalah krisis utang Yunani telah mendesak bursa Wall Street ke sisi negatif.

Hal itu akan memicu investor untuk melepas porfotolionya. Momentum ini juga akan dimanfaatkan investor untuk mengambil untung setelah kenaikan IHSG yang tajam sebelumnya. IHSG pada perdagangan Rabu (5/5/2010) diprediksi akan mengalami koreksi cukup besar.

Bursa Wall Street kemarin merosot tajam dengan indeks Dow Jones ambles 200 poin lebih. Investor kembali mengkhawatirkan masalah krisis utang Yunani akan menular ke negara-negara Eropa lainnya.

Pada perdagangan Selasa (4/5/2010), indeks Dow Jones merosot 225,06 poin (2,02%) ke level 10.926,77. Indeks Standard & Poor's 500 juga merosot 28,66 poin (2,38%) ke level 1.173,60 dan Nasdaq merosot 74,49 poin (2,98%) ke level 2.424,25.

Sejumlah bursa regional pada hari ini masih libur perdagangan seperti bursa Jepang dan Seoul, memperingati libur nasional.

Berikut rekomendasi saham untuk hari ini:

eTrading Securities:

Pada perdagangan hari selasa IHSG ditutup melemah 1.8 point (-0.06%) tapi IHSG sempat menyentuh 2996 yang merupakan leve resistance IHSG, setelah menyentuh aksi profit taking datang sehingga menyeret IHSG hingga melemah 1.8 point, pada hari selasa IHSG membentuk doji pada puncak sehingga harus dikonfirmasi dalam perdagangan hari ini, asing sendiri pada hari ini masih melakukan pembelian, tercatat asing melakukan net buy sebesar 204 milliar. Kisaran IHSG pada hari ini dalam kisaran 2903 – 3000.

Panin Sekuritas:

Setelah melesat mendekati level 3.000, akhirnya IHSG justru ditutup melemah tipis menyusul aksi jual terhadap saham bluechip. Gain yang terjadi pada sesi 1 perdagangan terhapus oleh sentimen negatif dari melemahnya pembukaan bursa Eropa serta harga komoditas. Kami memproyeksikan untuk jangka pendek perdagangan masih cenderung volatile. Hari ini IHSG diperkirakan akan bergerak pada kisaran support-resistance 2.920-2.982.

by detik finance

Selasa, 04 Mei 2010

Bunga KUR Turun 2%

Jakarta - Pemerintah menurunkan bunga Kredit Usaha Rakyat menjadi 22% untuk kredit di bawah Rp 5 juta dan 14% persen untuk kredit di atas Rp 5 juta. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 22/PMK.05/2010 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.05/2008 tentang Fasilitas Penjaminan Kredit Usaha Rakyat.

"Hal ini dilakukan untuk mendukung pelaksanaan Nota Kesepahaman Bersama tentang Penjaminan Kredit atau Pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKM-K)," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam siaran pers di situs Kementerian Keuangan, Selasa (4/5/2010).

Ia mengatakan, salah satu pasal yang mengalami perubahan adalah ketentuan besarnya tingkat bunga kredit. Tingkat bunga kredit/margin pembiayaan untuk kredit sebesar Rp 5 juta ke bawah yang dalam PMK sebelumnya ditetapkan paling tinggi sebesar 24% efektif per tahun berubah menjadi paling tinggi 22% per tahun atau ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan atas rekomendasi Komite Kebijakan.

Sedangkan untuk kredit di atas Rp 5 juta sampai dengan Rp 500 juta, tingkat bunga kredit atau margin pembiayaan yang dikenakan yang tadinya sebesar paling tinggi 16% efektif per tahun berubah menjadi paling tinggi 14% per tahun atau ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan atas rekomendasi Komite Kebijakan.

"Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan kepada setiap UMKM-K tersebut dapat digunakan baik untuk kredit modal kerja maupun kredit investasi," ujarnya.

Selain itu, terdapat penambahan ayat dalam pasal 4 yang menyatakan bahwa Bank Pelaksana dapat menyalurkan KUR secara langsung kepada UMKM-K dan atau tidak langsung melalui lembaga linkage dengan pola executing atau pola channeling.

Penyaluran KUR yang telah dilaksanakan sebelum berlakunya PMK ini, tetap berpedoman pada PMK Nomor 135/PMK.05/2008 tentang Fasilitas Penjaminan Kredit Usaha Rakyat sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 10/PMK.05/2009.

PMK ini mulai berlaku sejak tanggal12 Februari 2010 yaitu satu bulan sejak Addendum II Nota Kesepahaman Bersama tentang Penjaminan Kredit atau Pembiayaan Kepada UMKM-Koperasi ditandatangani

by detik finance

Market Flash eTrading

Jakarta - Dow Jones : Pasar saham mengalami kenaikan, membuat Dow Jones Industrial Average menguat ke posisi tertinggi sejak bulan Februari setelah Warren Buffet membela Goldman Sachs Group Inc., perusahaan manufaktur tumbuh dalam fase tercepatnya sejak tahun 2004 dan tingkat pengeluaran individu yang naik. Goldman Sachs rebound 3% setelah Buffet mengatakan bahwa bank tersebut tidak seharusnya disalahkan oleh Securities and Exchange Commission.

United Airline dan Continental Airlines Inc naik lebih 2% setelah setuju untuk bergabung. Apple Inc.naik 2% setelah mengeluarkan pernyataan bahwa perusahaan tersebut berhasil menjual 1 juta unit iPads dalam bulan pertama sejak dirilis. Indeks Standard & Poor's 500 (+1.3%) ke 1,202.26. Dow Jones Industrial Average (+1.3%) ke 11,151.83.

Regional Pagi: Saham-saham Australia dan Korea Selatan menguat setelah tumbuhnya manufaktur AS dengan laju tercepat sejak 2004 dan meningkatnya belanja pribadi, yang mendorong kepercayaan terhadap pemulihan ekonomi global. Hyundai Motor Co (+3.7%) di Seoul seiring meningkatnya penjualan AS.

Westfield Group, (+2.4%) di Sydney setelah perusahaan mencatatkan pertumbuhan yang lebih baik dari ekspektasi. Woodside Petroleum Ltd., (+ 0.6%) di Sydney setelah naiknya minyak mentah ke 3 pekan tertinggi di New York, kemarin. Sementara, bursa Jepang masih tutup untuk public holiday. S&P/ASX 200 (+0.1%) 4,789 KOSPI (+0.49) 1,729 STI (+0.5%) 2958

Commodity : Minyak mentah diperdagangkan di bawah $86 per barel di New York sesuai dengan prediksi analis bahwa persediaan minyak mentah AS meningkat, memberikan signal bahwa permintaan minyak mentah dunia di US berangsur-angsur pulih.

Harga minyak mentah melemah untuk pertama kalinya dalam 5 hari setelah analis memperkirakan laporan Departemen Energi besok yang mungkin menunjukan persediaan minyak mentah AS naik untuk kali yang ke 13 dalam 14 minggu. Persediaan mungkin meningkat 1,7 juta barel dalam 7 hari yang berakhir pada 30 April dari sebelumnya 357,8 juta minggu sebelumnya, menurut perkiraan median dari 9 analis. WTI Crude (-0.2%) $ 86/barrel Gold (-0.1%) USD 1,181/t oz CPO (+0.6%) RM 2,561/MT Nickel (+3.5%) USD 26,300/MT Tin (+0.5%) USD 18,250/MT.

Economic & Industrial News

Banking: BI: Inflasi diperkirakan tetap di level 5,3%

Bank Indonesia (BI) masih berpegangan inflasi tetap berada di level 5,3% sesuai dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P), sehingga tingkat suku bunga acuan (BI Rate) masih berada di level 6,5%. Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini melaporkan terjadinya inflasi pada April sebesar 0,15% dibandingkan dengan bulan sebelumnya dan 3,91% dibandingkan dengan April 2009 karena adanya kenaikan harga sejumlah bahan makanan. Menanggapi hal itu, Pjs. Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan tetap mengacu pada tingkat inflasi pada APBN-P yaitu 5,3%. Dia juga sudah memperkirakan adanya kenaikan harga pada tahun ini.

Economic: Indeks kepercayaan konsumen stabil di 86,8

Kepercayaan konsumen terhadap kondisi perekonomian pada April 2010 tercatat relatif stabil yaitu tetap berada di level 86,8. Hal itu terungkap dalam hasil survei terhadap indeks kepercayaan konsumen (IKK) pada April 2010 yang dilakukan oleh Danareksa Research Institute.Konsumen merasa yakin keadaan ekonomi saat ini semakin membaik tapi mereka masih merasa terbebani oleh tingginya harga bahan makanan,ungkap ekonom senior Danaraksa Research Institute. Dia menuturkan pada survei April tercatat sebanyak 64,4% dari konsumen yang disurvei masih merasa khawatir terhadap tingginya harga bahan makanan.

Economic: Ekspor RI ke China Melonjak 113%

Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebutkan kinerja ekspor non migas Indonesia ke China sepanjang kuartal I-2010 mencapai US$ 3,1 miliar atau meningkat 113,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal ini telah menekan defisit perdagangan Indonesia terhadap China menjadi hanya US$ 1 miliar padahal pada periode yang sama pada tahun 2009 lalu sempat tembus US$ 1,4 miliar atau turun 25,5%.

Economic: BI Rate bertahan 6,5% hingga Akhir Tahun

Bank Indonesia (BI) menilai ekspektasi inflasi hingga kini masih sesuai dengan proyeksi APBN Perubahan 2010 sebesar 5,3%. Dengan demikian posisi suku bunga acuan BI (BI rate) yang saat ini di 6,5% masih bisa konsisten hingga akhir tahun. Kemarin (3/4), Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi April 2010 mencapai 0,15%. Inflasi dipicu kenaikan harga beberapa rempah khas Indonesia, seperti cabai merah dan bawang putih, serta harga rokok keretek atau filter. Secara kumulatif, laju inflasi Januari-April 2010 (year to date) adalah 1,15%. Jika dibandingkan dengan April 2009, laju inflasi adalah 3,91%. Kepala BPS Rusman Heriawan mengatakan dengan kondisi inflasi saat ini, target inflasi 5,3% untuk 2010 diperkirakan tercapai.

Europe: Bailout Yunani Mulai Cair Pekan Ketiga Mei

Pemerintah negara-negara kawasan euro dan Dana Moneter Internasional (IMF) berkomitmen memberikan dana penyelamatan (bailout) bagi Yunani senilai total 110 miliar euro (sekitar Rp 1.300 triliun). Dana diperkirakan mulai cair pada 19 Mei mendatang. Rencananya pada Jumat (7/5), para pemimpin negara kawasan euro bertemu di Brussels dalam forum luar biasa. Pertemua itu membahas penuntasan penyusunan paket penyelamatan Yunani sekaligus membicarakan langkah-langkah menghindari terjadinya krisis utang di masa depan. Penyelamatan tersebut diberikan dengan syarat pemerintah Yunani melakukan pemotongan anggaran besar-besaran dan menaikkan pajak.

Corporate News

BHIT: Raih Laba Bersih Rp 152,6 M

PT Bhakti Investama Tbk (BHIT) memperbaiki kinerja di kuartal pertama. Dalam tiga bulan awal di 2010, BHIT mengantongi laba bersih Rp 152,6 miliar, bertolak belakang dengan hasil di periode sama tahun lalu, yaitu rugi bersih Rp 123,962 miliar. Dalam laporan keuangan per akhir Maret 2010 yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (3/5), pendapatan usaha BHIT naik 17,05% dari Rp 1,29 triliun menjadi Rp 1,51 triliun. Kontribusi pendapatan terbesar berasal dari bisnis media dan penyiaran yang naik 15,19% menjadi Rp 1,01 triliun.

SMGR: Pemerintah beli 1,25% saham Semen Gresik

Pemerintah melalui PT Danareksa dan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) resmi menjadi pemilik 1,25% saham PT Semen Gresik Tbk, produsen semen terbesar nasional, yang dilepas oleh Rajawali Group. Dengan demikian, kepemilikan pemerintah di perusahaan semen yang ber­basis di Gresik, Jawa Timur, itu kini me­ningkat menjadi 26,15%. Managing Director For Business development Rajawali Corporation Darjoto Set­yawan mengatakan pihaknya telah menjual sisa saham minoritas yang masih ada kepada pemerintah pada 30 April.

TRIO: Pendapatan Meningkat 19%

PT Trikomsel Oke Tbk (TRIO) membukukan kenaikan pendapatan selama 1Q10 sebesar Rp1,28 triliun atau naik 19% dibandingkan priode yang sama 2009 sebesar Rp1,08 triliun. Seiring dengan kenaikan pendapatan, laba usaha perseroan juga naik 34,2% dari Rp46,06 miliar menjadi Rp61,79 miliar.

KIAS: Omzet KIAS melonjak 72%

Omzet penjualan keramik PT Keramika Indonesia Assosiasi Tbk pada triwulan I tahun ini melonjak 72% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu menjadi Rp158,18 miliar dengan laba usaha Rp20,56 miliar.

Direktur Utama PT Keramika Indonesia Assosiasi (KIAS) Rico Susilo mengatakan kenaikan omzet perseroan pada 3 bulan pertama tahun ini seiring dengan kembali bergairahnya industri properti di Tanah Air sejak semester II/ 2009.

MNCN: Buyback 15 Juta Saham

PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) telah membeli kembali (buyback) 15 juta saham selama 26 April-28 April 2010. MNCN mengeluarkan dana Rp 6,68 miliar untuk pembelian tersebut. MNCN melakukan buyback melalui beberapa transaksi yang dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Pada 26 April 2010, MNCN melakukan 4 kali transaksi dengan total saham yang dibeli 5 juta saham. Pada 27-28 April 2010 MNCN membeli masing-masing 5 juta saham. Direktur Utama MNCN Hary Tanoesoedibjo pernah menyatakan, MNCN ingin membeli kembali 1,16 miliar sahamnya atau setara 10% dari total modal disetor perusahaan.

BBNI: Green Shoe Dilepas Rp2.500 Per Saham

Pemerintah bakal melepas saham green shoe PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) pada harga Rp2.500 per unit. Harga tersebut sesuai target anggaran pemerintah tahun ini sebesar Rp1,2 triliun. Saat ini pemerintah memiliki 473,89 juta saham green shoe BNI, yang merupakan sisa penjatahan lebih ketika menggelar penawaran umum kedua pada 2007.

ANTM: BUMN Minta Krakatau-Antam Tangani Inalum

Kementerian Badan Usaha Milik Negara mendorong PT Krakatau Steel dan PT Aneka Tambang Tbk bekerja sama meneruskan pengoperasian Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), setelah kontrak Jepang pada 2013 mendatang habis. setelah kontrak Jepang pada 2013 berakhir, maka 100% saham Inalum akan menjadi milik Pemerintah. Bila Jepang memperpanjang kontrak, Jepang juga tidak lagi menjadi pemilik mayoritas.

BSDE: BSD siapkan akuisisi lahan Rp2 triliun

PT Bumi Serpong Damai Tbk menyiapkan dana antara Rp2 triliun dan Rp2,5 triliun untuk mengakuisisi 1.300 hektare lahan di wilayah pengembangan BSD City. Positifnya kinerja emiten tersebut mendorong manajemen mengajukan opsi pembagian dividen, yang akan diajukan dalam rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) pada Juni.

GJTL: Gajah Tunggal incar penjualan naik 25%

PT Gajah Tunggal Tbk mengincar pertumbuhan penjualan sebesar 15% hingga 25% pada kuartal I tahun ini dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu senilai Rp1,74 triliun. Direktur Gajah Tunggal Catharina Widjaja mengungkapkan pada ta­hun ini perseroan akan merealisasikan tambahan kontrak pengadaan ban (offtake agreement) dari Michelin pada tahun ini menjadi 3 juta ban dari semula 2 juta ban.

AGRO: Divestasi Bank Agro Tuntas

Divestasi saham PT Bank Agroniaga Tbk ke investor strategis ditargetkan selesai pada 2Q10. Komisaris utama Bank Agroniaga Roswita Nilakurnia mengatakan porsi saham yang akan dijual di atas 50%. Roswita yang juga Direktur Utama Dana Perkebunan (Dapenbun), pemegang 96% saham Bank Agro mengaku belum bisa menyebutkan harganya. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk menjadi calon terkuat pemilik Bank Agro.

Corporate News


* BHIT: Raih Laba Bersih Rp 152,6 M
* SMGR: Pemerintah beli 1,25% saham Semen Gresik
* TRIO: Pendapatan Meningkat 19%
* KIAS: Omzet KIAS melonjak 72%
* MNCN: Buyback 15 Juta Saham
* BBNI: Green Shoe Dilepas Rp2.500 Per Saham
* ANTM: BUMN Minta Krakatau-Antam Tangani Inalum
* BSDE: BSD siapkan akuisisi lahan Rp2 triliun
* GJTL: Gajah Tunggal incar penjualan naik 25%
* AGRO: Divestasi Bank Agro Tuntas


Rumor

Langkah PT Trias Sentosa Tbk (TRST) mengakuisisi Tianjin Sunshine Palstics, Tingkok, tahun 2007, telah menjadikan perseroan "A Leader in Packaging Material Supplier in Asia". Kinerja keuangan 1Q10 dikabarkan melnjka sngat signifikan. Sahamnya masih murah dengan PER 4,78 kali dan PBV 0,6 kali, serta akan diangkat ke level Rp375-400. Perseroan juga dikabarkan membagi tahun 2009 sebesar Rp15/saham.

Isu yang beredar menyebutkan, saham PT Kertas Basuki Rachmat Indonesia (KBRI) akan diburu investor asing dan lokal. Itu terkait kabar bahwa saham perseroan akan dilepas oleh PT PPA kepada investor asal Finlandia, yang sering bekeja sama dengan perseroan dalam pengadaan mesin.

Corporate Action

Hari ini (4/5), cum date rights issue Inovisi Infracom Tbk (INVS) rasio 85(new) : 100(old) Rp 125 per saham. Ex date (5Mei2010)

Technical Picks

* MEDC (2950) – Trading Buy
* INDF (3875) – Trading Buy
* TBLA (425) – Trading Buy
* PGAS (4075) – Trading Buy



by detik finance

Sabtu, 27 Februari 2010

Waspadai Krisis Global Tahap II

Jakarta - Banyak yang memprediksi tahun 2010 merupakan tahun pemulihan krisis ekonomi global. Namun tak sedikit pula yang masih memasang sikap waspada bahkan meramalkan kedatangan krisis lanjutan alias krisis global tahap dua.

Sebelum masuk lebih jauh, mari mundur sedikit untuk mengingat-ingat kondisi yang terjadi pada krisis 2007-2008 silam. Adalah produk inovatif bernama Subprime Mortgage yang menjadi penyebab utamanya.

Subprime merupakan kredit pemilikan rumah (KPR) berisiko tinggi yang ditawarkan dengan opsi menarik, setidaknya terlihat seperti itu. Dalam setahun pertama, debitur Subprime tidak dikenakan bunga. Bunga baru dikenakan setelah setahun pertama.

Produk ini merupakan pilihan menarik bagi masyarakat kelas bawah di Amerika Serikat (AS), karena membuat mereka memiliki kesempatan mempunyai rumah sendiri. Saking banyak peminatnya, surat utang KPR bernama Subprime ini pun diperdagangkan di pasar modal dengan berbagai inovasi turunannya.

Hampir semua bank-bank besar di AS dan Eropa menanamkan investasi pada produk ini. Nilai produk Subprime ini tak tanggung-tanggung mencapai US$ 1,5 triliun.

Namun tanpa disangka, begitu setahun pertama berlalu, kejutan datang. Nasabah-nasabah Subprime rupanya banyak yang tidak mampu mencicil pokok berikut bunga yang sudah mulai dikenakan setelah setahun. Alhasil, bank-bank besar di AS dan Eropa dihantui gagal bayar yang tak kepalang tanggung.

Tak cuma AS dan Eropa, dampaknya terasa hampir ke seluruh perekonomian dan pasar modal dunia, termasuk Indonesia. Sebanyak 123 bank di AS pun akhirnya mendaftarkan kebangkrutan. Indeks-indeks bursa saham di seluruh dunia pun mengalami koreksi tajam di atas 50% hanya dalam setahun.

Untungnya, tahun 2009 sentimen positif dan semangat optimisme berhasil mengangkat kembali indeks-indeks bursa saham global dari kejatuhan. Dan tahun 2010, dengan semangat yang sama, diharapkan akan menjadi tahun pemulihan.

Sayangnya, jalan pemulihan dan penyehatan kelihatannya tidak akan berlalu dengan mudah dan mulus. Menurut VP Research & Analys PT Valbury Asia Securities Nico Omer Jonckheere, dunia masih harus melalui krisis global tahap dua.

"Resesi mungkin telah berakhir, tetapi depresi baru mulai. Krisis yang sesungguhnya masih berada di depan kita," ujarnya dalam bincang-bincang dengan detikFinance beberapa waktu lalu.

Menurutnya, kebanyakan orang terlalu senang dengan euforia pemulihan di 2009, sehingga luput melihat tanda-tanda krisis lanjutan. Nico menjelaskan, Subprime Mortgage mungkin telah berlalu. Namun ia menegaskan, Subprime Mortgage bukan satu-satunya produk KPR berisiko tinggi di AS.

Produk yang dimaksud Nico adalah produk KPR bernama Alt-A dan Option ARM. Dua produk ini kerap dikenal dengan pinjaman Ninja (No Income, No Job and Asset) yang artinya KPR bagi masyarakat yang tidak memiliki pendapatan, pekerjaan dan agunan.

Perbedaannya dengan Subprime adalah Alt-A dan Option ARM memberikan keleluasaan pada nasabahnya dalam membayar cicilan selama 5 tahun pertama. Setelah 5 tahun akan dikenakan penyesuaian bunga secara berkala.

"Setelah 5 tahun, rata-rata kenaikan suku bunga mencapai 80%," ujarnya.

Menurutnya, produk ini juga merupakan bom waktu yang malah dinilainya bisa berdampak lebih besar dari Subprime. Jika nilai Subprime hanya sebesar US$ 1,5 triliun, nilai Alt-A dan Option ARM masing-masing mencapai US$ 2,5 triliun dan US$ 500 miliar. Total nilai dua produk ini mencapai US$ 3 triliun.

"Jadi pasar properti yang sekarang terlihat stabil, tinggal menunggu waktu terjadi penyesuaian bunga KPR yang akan dimulai tahun ini (2010-2011)," ujarnya.

Jika Subprime yang bernilai US$ 1,5 triliun saja sudah membuat dunia amburadul, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika ternyata nasabah produk Alt-A dan Option ARM juga tidak bisa mencicil bunganya setelah terjadi penyesuaian bunga yang akan terjadi pertengahan tahun 2010.

Selain itu, Nico juga melihat kredit properti komersial sudah menunjukkan tanda-tanda ambruk. Sebagai catatan, nilai kredit real estate komersial di AS mencapai US$ 3,5 triliun.

"Harga properti komersial turun lebih dari 34% sepanjang 2009. Nasabah yang gagal membayar cicilannya meningkat dari 1% menjadi 9%. Nilai gagal bayar meningkat 423% menjadi US$ 52,7 miliar dari tahun 2008 sebesar US$ 12,5 miliar," papar Nico.

Volume transaksi properti komersial, lanjut Nico, mengalami penurunan tajam dari sebesar US$ 133,2 miliar di 2007 menjadi US$ 4,8 miliar di triwulan I-2009.

"Sekitar 90 ribu properti komersial di AS saat ini tidak dihuni, kosong," ungkap Nico.

Selain itu, tambah Nico, lebih dari 2.600 bank di AS memiliki portofolio pinjaman properti komersial di atas 300% dari batasan risiko yang ditetapkan (risk based capital).

"Oleh karena itu, ratusan bank kecil dan menengah di AS yang telah memberikan pinjaman untuk properti komersial harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kerugian besar yang kemungkinan menggenangi sumber daya mereka," tuturnya.

Nico juga mengatakan kalau sepanjang tahun 2009, bank-bank di seluruh dunia telah melakukan pemutihan utang senilai US$ 1 triliun lantaran meningkatnya gagal bayar. Ia memperkirakan, pemutihan utang yang akan dilakukan bank-bank di dunia selama tahun 2010 akan mencapai US$ 1,5 triliun.

"Pada pertengahan 2010, kerugian bank-bank di AS akan melebihi depresi besar 1929," ujarnya.

Pasar pekerjaan di AS juga dinilai Nico berpotensi meningkat tajam hingga ke level 13%. Menurutnya, saat ini kondisi masyarakat AS sangat buruk.

"1 dari 9 orang AS atau sekitar 39 juta orang, hidupnya bergantung pada Food Stamp (kupon makanan) yang disediakan pemerintah federal," ujarnya.

Kalau sudah begini, imbuhnya, kondisi perekonomian dipastikan akan mendek. Tanpa pekerjaan baru maka tidak ada pendapatan. Tanpa pendapatan, tidak ada pembelian barang dan jasa. Tanpa pembelian, laba perusahaan tidak akan meningkat. Dan akhirnya tidak ada penciptaan lapangan kerja baru.

Peliknya kondisi ekonomi global saat ini, menurut Nico disebabkan karena sistem perekonomian telah mendorong utang terlalu besar, sehingga terjebak pada kondisi kelebihan utang.

Berdasarkan data IMF sebagaimana diungkapkan Nico, utang negara-negara yang tergabung dalam forum G20 diperkirakan bakal meningkat rata-ratanya ke level 118,4% dari total nilai PDB negara-negara anggotanya di 2014.

"Masalah utama perekonomian dunia kini bukan kekurangan uang, tapi kelebihan utang. Masalah utama ekonomi AS adalah pasar properti yang belum pulih, utang pemerintah yang melonjak, pengangguran tinggi, kredit yang tidak mengalir," jelasnya.

Nico juga meramalkan akan munculnya indikator-indikator ekonomi mengecewakan dari negara-negara maju. Kemudian akan bermunculan laporan peningkatan laba bersih perusahaan yang tidak didukung oleh peningkatan penjualan.

Itu berarti peningkatan laba lebih didorong oleh efisiensi bukan oleh peningkatan permintaan di pasar. Daya beli belum meningkat. Selain itu, price to earning ratio (PER) saham-saham di AS telah mencapai 26 kali, level yang dinilai Nico terlampau tinggi.

Atas sejumlah analisisnya tersebut, ia mengimbau pelaku pasar lebih waspada dalam melakukan langkah investasi. Sebab, jika depresi benar terjadi, indeks-indeks bursa di seluruh dunia bakal kembali berjatuhan.

"Dow Jones akan menembus level terendah pada krisis lalu di level 6.469,95. Bisa jatuh dalam kisaran 3.800-5.000. IHSG bisa kembali jatuh ke bawah 2.000 bahkan di bawah 1.000," ujarnya.

Kendati demikian, Nico menyarankan pelaku pasar melakukan penjualan atas setidaknya 50% dari portofolio saham menjadi dana tunai. Sebab dana tunai diperlukan untuk melakukan pembelian ketika harga-harga saham sedang ambruk.

"Selain mengamankan dana, jika market jatuh, bisa melakukan pembelian ketika harga murah. Anda memang tidak memperoleh potensi keuntungan yang maksimal, tetapi anda juga tidak akan merasa tersakiti," ujarnya.

"Dan, tetap selalu ingat bahwa setiap krisis atau bahaya pada kenyataan menawarkan banyak peluang. Sekarang valuasi saham secara internasional masih mahal, tetapi setelah crash berikutnya semua saham kemungkinan besar akan dapat dibeli pada harga yang sungguh menggiurkan," imbuh Nico.

by detik finance

SBY Yakin Tidak Akan Ada Krisis Baru

Jakarta - Presiden SBY optimis perekonomian pada masa pemerintahannya di 2009-2014 akan berjalan dengan baik. Dia mengasumsikan tidak akan ada lagi krisis baru pada tingkat global setelah krisis global yang terjadi pada 2008.

Hal ini disampaikannya dalam pembukaan rapat sidang kabinet pembahasan Rancangan APBN Perubahan 2010 di kantornya, Jakarta, Kamis (25/2/2010).

"Ada beberapa lembaga yang setelah saya pelajari sama pandangannya dengan asumsi tidak adanya krisis baru pada tingkat global yang berdampak pada negeri kita," tuturnya.

SBY mengatakan, dirinya telah membaca dan mempelajari berbagai prediksi atau kajian tentang perekonomian Indonesia pada 5 tahun mendatang. "Mulai dari yang pesimis sampai yang optimis," imbuhnya.

Dalam kesempatan tersebut, SBY menuturkan 2 skenario perjalanan ekonomi Indonesia sampai 2014. Pertama, untuk skenario pesimis adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai 2014 akan berjalan relatif datar atau flat. Lalu kedua yang merupakan skenario optimis, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh signifikan melampaui target pemerintah.

Untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang kuat, SBY mengatakan syaratnya adalah penciptaan lingkungan dalam negeri yang stabil dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan keamanan.

"Sejumlah reformasi juga harus benar-benar terwujud di masa yang akan datang. Lalu ekonomi pusat dan daerah harus baik dan merata," cetusnya.

by detik finance

Defisit 2010 Capai 2,1%, Pemerintah Tambah Utang Rp 1,2 Triliun

Jakarta - Pemerintah memutuskan untuk menaikkan defisit APBN 2010 menjadi 2,1% dari PDB (Rp 132,2 triliun) dari besaran defisit awal yang sebesar 1,6% dari PDB (Rp 98 triliun). Akibatnya pemerintah akan tambah utang Rp 1,2 triliun.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani ketika ditemui di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (25/2/2010).

"Defisit 2.1% itu setara dengan Rp 132,2 triliun. Total belanjanya naik menjadi Rp 1.107 triliun dari Rp 1.047 triliun," ujarnya.

Sri Mulyani mengatakan, kenaikan defisit ini akan dimasukan dalam Rancangan APBN Perubahan 2010 yang rencananya akan diserahkan pemerintah pada hari Senin (1/3/2010). Kenaikan defisit ini disebabkan karena adanya tambahan alokasi anggaran belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar Rp 15,3 triliun, dan juga tambahan belanja non K/L sebesar Rp 32 triliun.

Secara total, dalam APBN-P 2010 nanti, akan ada tambahan alokasi anggaran untuk pemerintah pusat sebsar Rp 47,5 triliun, dan tambahan belanja pemerintah daerah sebesar Rp 11,8 triliun.

"Kenaikan anggaran paling besar adalah untuk subsidi. Subsidi BBM naik Rp 20 triliun, subsidi listrik naik Rp 16,7 triliun, subsidi pupuk naik Rp 4,4 triliun, subsidi pangan Rp 2,8 triliun. Jadi total tambahan subsidi adalah Rp 44 triliun," tutup Sri Mulyani.

Kenaikan defisit ini akan diambil dari surplus anggaran 2009 yang sebesar Rp 38 triliun, dan tambahan utang baru Rp 1,2 triliun.

Dalam APBN-P 2010 pemerintah juga akan mengubah besaran 4 asumsi makro yaitu:
Harga minyak (ICP) menjadi US$ 77 per barel
Inflasi menjadi 5,7%
Suku Bunga SBI 3 bulan 7%
Nilai Tukar Rp 9.500/US$

by detik finance

Outstanding Kredit CIMB Niaga Capai Rp 82,8 Triliun

Jakarta - Total (outstanding) kredit PT Bank CIMB Niaga Tbk hingga akhir 2009 sebanyak Rp 82,8 triliun, angka ini naik 11% dari posisi 31 Desember 2008 lalu. Sementara jumlah dana masyarakat yang telah dihimpun mencapai Rp 86,2 triliun, meningkat 3% dari posisi yang sama tahun sebelumnya.

Menurut Direktur Sales, Distribution & Syariah CIMB Niaga Ferdy Sutrisno, untuk bisa menggenjot penyaluran kredit dan dana pihak ketiga (DPK) tahun 2010 ini perseroan meresmikan 6 cabang baru, yang berlokasi di Jabodetabek yaitu Tangerang City, Duta Mas Jelambar, dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Depok. Juga di Pekanbaru yaitu Nangka, di Tegal dan Kuningan.

Ia mengatakan, dengan adanya 6 cabang baru ini maka menambah jumlah cabang perseroan menjadi sebanyak 675 di seluruh Indonesia.

"Hadirnya cabang baru ini semakin mendekatkan lokasi pelayanan kepada nasabah. Kini kita siap melayani masyarakat di berbagai wilayah di tanah air," katanya dalam siaran pers yang diterima detikFinance, Sabtu (27/2/2010).

Ia mengatakan, pemilihan lokasi cabang baru tersebut disesuaikan dengan perkembangan bisnis di daerah yang bersangkutan, juga tingginya jumlah masyarakat yang bisa digaet menjadi nasabah.

Selain layanan perbankan konvensional, CIMB Niaga melalui unit usaha syariahnya, juga menyediakan layanan perbankan syariah. Beragam produk tabungan, pembiayaan dan fasilitas lainnya yang berbasis syariah dapat diakses nasabah melalui 11 kantor cabang syariah (KCS) yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan beberapa kota lainnya di Tanah Air.

Kemudahan lainnya yang dapat diperoleh pemegang rekening ataupun calon nasabah CIMB Niaga Syariah adalah layanan office channeling (OC) yang per 31 Desember 2009 telah berjumlah 505. Dengan layanan ini, nasabah yang ingin melakukan transaksi di counter, tidak harus datang ke cabang syariah namun ke cabang konvensional pun sudah bisa melayani seluruh transaksi syariah.

"Tahun 2010 ini, kami merencanakan menambah jaringan OC sehingga totalnya menjadi 643." tambahnya.

by detik finance

Mewaspadai Serbuan Waralaba Asing

Jakarta - Waralaba asing akan segera menyerbu. Sejalan dengan perdagangan bebas ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA), pelaku waralaba China pun dikabarkan akan melebarkan sayapnya ke Indonesia.

Asosiasi Waralaba dan Lisensi Indonesia (Wali) mengungkapkan fenomena ini harus disikapi tegas. Pemerintah didesak untuk melakukan kebijakan yang pro terhadap pelaku usaha waralaba lokal.

Kasus-kasus penolakan izin waralaba minimarket di beberapa daerah bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi bisa menjadi filter bagi dominasi asing disektor waralaba khususnya untuk ritel minimarket namun juga bisa menghambat perkembangan waralaba secara keseluruhan termasuk waralaba lokal.

Sektor waralaba di Tanah Air di tahun ini diperkirakan akan terus menggeliat, pada tahun 2009 saja omset Rp 82 triliun terakumulasi dari sektor ritel, makanan minuman dan lain-lain. Perdagangan bebas ACFTA maupun ASEAN-Australia New Zealand FTA (AANZFTA) dipastikan akan menambah gairah sektor waralaba di Tanah Air.

Berikut ini wawancara detikFinance dengan Ketua Dewan Pengarah Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (Wali) Amir Karamoy di Jakarta, beberapa waktu lalu:

Bagaimana anda melihat waralaba asing khususnya di sektor minimarket?

Saya setuju kalau asing itu dibatasi, dan harus dikembangkan secara waralaba. Jadi kalau waralaba itu bisa dinikmati pengusaha dalam negeri di daerah, bukan asing. Terus terang saya ingin kalau Carrefour itu waralaba. Seharusnya KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) putusannya itu yang didorong itu adalah waralaba.

Terkait perdagangan bebas ACFTA, apa yang anda usulkan bagi pemerintah di sektor waralaba?

Dari sudut pandang waralaba, saya minta kepada pemerintah bahwa seluruh waralaba asal China harus franchise. Yang di saya saja sudah ada 6 perusahaan yang akan masuk jenis diantaranya waralaba kosmetik, ritel, herbal.

Siapa saja mereka?

Mareka masih inisiasi, baru mau masuk masih tanya-tanya regulasi di Indonesia bidangya ritel, makanan, herbal, klinik, rumah sakit mereka juga mau masuk, itu pasti. Pada tahun 2010 akhir pasti mereka masuk. Sekarang mereka masih tanya-tanya dengan saya soal aturan di sini.

Kenapa mereka tertarik?

Pasar Indonesia luar biasa, pasar waralaba kita terbesar di dunia. Kalau di ASEAN ini kita saingannya cuma dengan Filipina tapi penduduk kita lebih besar.

Saya minta agar pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa waralaba China yang masuk ke Indonesia itu harus dipaksa diwaralabakan melalui permendag pokoknya aturan pemerintah. Jadi mereka dipaksa jangan sampai ia mengembangkan company own-nya disini.

Jangan sampai nanti semuanya menjual produk-produk dari China, juga harus menjual dengan persentase 60% produk China, 40% produk lokal, kalau tidak kita dilibas habis karena mereka jual yang murah, mereka mudah tersebar kemana-mana.

Misalnya kalau mereka masuk di klinik, herbal kita bisa kesulitan. Pokoknya kalau sebagai waralaba wellcome saja, tapi kalau nggak, kita nggak setuju. Saya sudah sampaikan hal ini ke merek, dan mereka sudah kelihatannya setuju, mereka kelihatannya menghargai.

Sejumlah 6 perusahaan itu akan saya hantar ke kementerian perdagangan. Mereka tahun 2010 sudah mulai, pemerintahnya mendukung penuh, mereka juga sudah tunjuk lawyernya dari Indonesia

Bagaimana sikap anda soal pembatasan izin minimarket, yang umumnya adalah pelaku waralaba lokal, seperti di DKI Jakarta?

Ini trennya terjadi dibeberapa daerah, saya mau mengingatkan saja kepada pemda, kalau mereka dijalankan secara waralaba maka pemda wajib untuk mendorong, bukan menghalangi. Ini ada dalam PP No 40 tahun 2007 mengenai waralaba dan UU No 20 tahun 2008 tentang UMKM.

Dalam PP waralaba dan UU UMKM, dicantumkan secara jelas bahwa pemerintah dan pemda wajib mendorong perkembangan waralaba di daerah. Kalau ada waralaba yang distop maka pejabat itu melanggar UU dan harus ditindak gubernurnya.

Sekarang ini kebijakan sejenis itu dimana saja?

Di DKI Jakarta banyak, kalau memang dikembangkan dalam company own store, satu perusahaan mengembangkan banyak outlet, itu saya setuju dibatasi. Tapi kalau itu dikembangan secara waralaba dan penerima waralaba adalah pengusaha daerah, maka pemerintah tidak boleh menutup, namun justru harus mendorong.

Saya dengar dari sekian banyak yang dilarang izinnya (oleh Pemda DKI) ada juga yang minimarket waralaba. Beberapa daerah seperti Jawa Barat, Jawa Timur ada. Itu hanya kekurangan pahaman pejabat pemda apa arti waralaba, kedua juga mereka tidak membaca UU yang ada.

Saya menyarankan sebagai ketua Wali dan Ketua Komite Tetap Kadin bidang Waralaba. Tanya saja ke kami apa itu waralaba. Saya khawatir dengan tindakan seperti ini melanggar UU.

Upaya yang telah dilakukan Wali?

Saya sudah menyampaikan hal ini secara tertulis kepada menteri perdagangan, bahwa upaya menghalangi pertumbuhan waralaba pihak pemerintah pusat harus menjadi perhatian besar.

Sebaiknya pemda-pemda itu mengetahui hakekat waralaba itu. Setahu saya mereka tidak mengerti apa itu waralaba. Mereka hanya mengerti ada pasar moderen, masuk ke daerah menggusur pasar tradisional, itu gambaran mereka.

Padahal waralaba itu memberikan kesempatan lapangan kerja, terutama dilokasi dimana waralaba itu berada. Kalau terjadi persaingan itu tugas pemerintah bagaimana mengaturnya, tapi jangan sampai menutup (waralaba minimarket). Bagaimana pemerintah mengeluarkan kebijakan, pasar tradisonal tetap jalan, dan waralaba (minimarket) juga jalan.

Selama ini pemda beralasan kebijakan itu untuk tidak menjamurnya minimarket?

Kalau kita mau menjadi kota megapolitan semua ritel-ritel harus menjadi ritel moderen. Tetapi saya tidak katakan kalau pasar tradisional tidak boleh hidup, mereka harus tetap hidup. Masalahnya bagaimana mengaturnya, kalau menahan itu melanggar UU, Wali bisa menuntut.

Imbasnya apa dong kalau ini dibiarkan?

Biasanya mereka (minimarket) buka 24 jam, minimal 2 shift maksimal 3 shift, kalau satu shift saja 6 pegawai maka bisa menyerap tenaga kerja hingga 18 orang per outlet. Kalau itu ribuan berapa tenaga kerja yang bisa diserap? Juga waralaba itu kan pengusaha setempat, bukan pengusaha wilayah lain, jadi berkembangnya waralaba di daerah akan mendorong kota berkembang menjadi lebih hidup.

Selama ini porsi minimarket untuk waralaba berapa?

Ritel perputarannya di waralaba itu mencapai Rp 50 triliun per tahun, atau mengambil porsi hampir 40%, itu minimarket saja. Ini cukup besar, kalau ini dilarang, tenaga kerja yang belum terserap cukup besar loh.

Memang Wali sudah mengupayakan apa saja khususnya ke pemda DKI?

Terus terang saya dengan Foke (Gubernur DKI Jakarta) sejak kecil berteman, dalam beberapa kesempatan saya sampaikan bahwa kesan saya bahwa pemda tidak memahami apa yang dimaksud dengan waralaba.

Misalnya dalam perda pasar swasta yang sudah diganti, pasar yaitu ada supermarket, minimarket dan waralaba, itu saja sudah salah. Waralaba itu bukan pasar, itu sistem, suatu sistem, suatu pihak memberikan hak merek pada pihak lain, masing-masing pihak independen tidak saling memiliki.

Kalau ritel dilarang, sekarang bengkel, apotik, cuci motor, cuci helm sekarang menjamur. Kalau itu terjadi jadi lucu, karena banyak pelaku usaha kecil lainnya disektor itu yang bukan waralaba. Itu kesalahan yang patal dilakukan oleh pemda. Pak Foke bilang akan dipelajari.

Bukankah sekarang sedang dibahas perdanya?

Betul sekarang sedang dibahas, tapi celakanya kami tidak pernah diundang, padahal dalam pembahasan kementerian perdagangan soal waralaba saya selalu diundang. Kalau pemda DKI tidak pernah mengundang.

by detik finance

Acuhkan Wall Street, Bursa Asia 'Menghijau'

Tokyo - Pelemahan yang terjadi di bursa Wall Street tidak berimbas ke bursa regional. Indeks saham di bursa-bursa Asia justru 'menghijau' dan mengabaikan sentimen negatif data pengangguran AS yang mengecewakan.

Bursa Wall Street ditutup melemah meski tipis setelah sempat terjerembab jauh akibat data pengangguran yang mengecewakan. Pada perdagangan Kamis (25/2/2010), indeks Dow Jones industrial average ditutup melemah tipis 53,13 poin (0,51%) ke level 10.321,03. Indeks Standard & Poor's 500 juga melemah 2,30 poin (0,21%) ke level 1.102,94 dan Nasdaq melemah 1,68 poin (0,08%) ke level 2.234,22.

Pada perdagangan Jumat (26/2/2010), bursa-bursa Asia bergerak menguat meski tidak terlalu signifikan. Penguatan bursa-bursa Asia lebih lanjut tertahan oleh sentimen negatif ancaman penurunan peringkat Yunani.

Lembaga pemeringkat Moody's menyatakan perubahan peringkat Yunani akan tergantung bagaimana negara tersebut menyusun sebuah rencana reformasi fiskal. Sementara Standard & Poor's menyatakan akan menurunkan peringkat Yunani 1 atau 2 tingkat dalam sebulan ke depan. Jika hal itu benar-benar dilakukan, maka dikhawatirkan akan semakin meningkatkan biaya utang Yunani.

Pergerakan bursa-bursa Asia pada Jumat akhir pekan ini adalah:

Indeks Shanghai melemah tipis 8,68 poin (0,28%) ke level 3.051,94.
Indeks Hang Seng menguat 209,13 poin (1,03%) ke level 20.608,70.
Indeks Nikkei-225 menguat 24,07 poin (0,24%) ke level 10.126,03.
Indeks Straits Times menguat 1,71 poin (0,06%) ke level 2.750,86.
Indeks KOSPI naik tipis 7,07 poin (0,45%) ke level 1.594,58.
Indeks Sydney naik 43,6 poin (0,95%) ke level 4.637,7.

Bursa Efek Indonesia dan Kuala Lumpur libur memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

Hanya Bursa Shanghai yang melemah akibat rontoknya saham-saham perbankan. Hal itu dipicu oleh kekhawatiran seputar masalah pengetatn kredit. Demikian pula saham-saham komoditas ikut melorot seiring turunnya harga komoditas.

Sedangkan bursa-bursa Eropa juga memulai perdagangan Jumat akhir pekan ini dengan penguatan yang cukup signifikan. Indeks DAX 30 naik 1,02%, CAC 40 naik 0,95%, FTSE 100 naik 1,03%.

by detik finance

BI Rate Masih Berpeluang Naik di Semester I-2010

Jakarta - Meski Bank Indonesia (BI) menyatakan tidak akan ada perubahan terhadap suku bunga acuan atau BI Rate hingga semester I 2010, sejumlah kalangan berpendapat justru BI Rate masih berpotensi untuk naik.

Menurut Ekonom PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Tony Prasetyantono, faktor yang sangat mempengaruhi naiknya BI Rate tersebut potensi kenaikan inflasi dan melemahnya rupiah menuju pertengahan tahun 2010.

"BI rate sejauh ini memang tidak perlu diubah. Barulah nanti jika inflasi yoy menyentuh 4,5% atau 5%, BI rate perlu dinaikkan menjadi 6,75%. Jika hal ini diikuti dengan merosotnya kurs rupiah, barulah BI rate perlu dinaikkan menjadi 7,0%," katanya saat dihubungi detikFinance, Sabtu (27/2/2010).

Ia mengatakan, saat ini BI Rate masih akan diam di tempat, tidak naik maupun turun untuk sementara waktu. Jika diturunkan, tidak bisa dipastikan akan menurunkan suku bunga kredit di kalangan perbankan. Sementara jika dinaikkan, tidak ada alasan yang kuat.

Menurutnya, Indonesia sedang menikmati capital inflow, yang bisa dideteksi dari kenaikan IHSG dan cadangan devisa BI yang mencapai US$ 70 miliar. Rupiah juga sudah nyaman bertengger di level Rp 9.300-9.400. Ini level yang sesuai ekspektasi.

"Sedangkan inflasi yoy, yang sekarang 3,72% juga merupakan level yang sesuai ekspektasi," tambahnya.

Secara terpisah, Ekonom Danareksa Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan, ruang untuk menurunkan BI Rate sudah tidak ada lagi, kemungkinan yang ada hanya naik seiring dengan tekanan inflasi yang juga bergerak naik.

"Tapi BI Rate tidak naik saja untuk tahun ini sudah memberikan sinyal yang cukup baik bagi perekonomian kita," tambahnya.

sumber detik fin

Suku Bunga Kredit Idealnya 11,5%

Jakarta - Bank Indonesia (BI) harus bisa mendesak kalangan perbankan dalam negeri menurunkan tingkat suku bunganya sesuai dengan suku bunga acuan atau BI Rate saat ini. Dengan BI Rate berada di tingkat 6,5 persen, maka seharusnya rata-rata suku bunga kredit berada di tingkat 11,5 persen.

"BI harus memastikan transmisi kebijakan moneternya jalan. Dengan kata lain, suku bunga pinjaman harus dapat turun sesuai dengan level BI rate-nya," kata Ekonom Danareksa Purbaya Yudhi Sadewa saat dihubungi detikFinance, Sabtu (27/2/2010).

Ia mengatakan, saat ini BI Rate belum akan bergerak, tidak naik maupun turun. Menurutnya, Penahanan BI rate pada level yang rendah saat ini akan memberikan peluang bagi bunga pinjaman untuk turun ke level yang seharusnya.

"Tentunya BI juga harus berusaha lebih keras lagi," katanya.

Purbaya menambahkan, bila penurunan suku bunga kredit ini terjadi maka pertumbuhna sektor riil Indonesia tahun ini bisa lebih pesat lagi.

Sebelumnya, BI memberikan sinyal tidak akan menaikkan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) sampai semester I-2010. BI memprediksi laju inflasi sepanjang semester I-2010 masih terkendali dan sesuai target.

BI memprediksi inflasi pada bulan Februari ini lebih rendah dibandingkan inflasi pada Januari lalu. Prediksi tersebut terlihat mulai turunnya harga beras dan mulai membaiknya nilai tukar rupiah.

sumber detik fin

Selasa, 16 Februari 2010

IHSG Pilih Berjalan Perlahan

Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Senin awal pekan kemarin ditutup melemah dalam volume transaksi yang sangat tipis akibat liburnya sebagian besar bursa Asia memperingati Imlek.

Pada perdagangan Senin (15/2/2010), IHSG akhirnya ditutup melemah 16,681 poin (0,66%) ke level 2.517,456. Indeks LQ 45 juga melemah 4,402 poin (0,89%) ke level 488,897. Volume transaksi juga hanya setengah dari rata-rata harian.

Kelesuan tampaknya masih akan menjalari perdagangan Selasa (16/2/2010), mengingat sebagian bursa masih libur Imlek. Ditambah bursa Wall Street yang pada Senin kemarin masih libur memperingati 'President's Day', investor pun semakin enggan untuk bertransaksi penuh.

Sementara Bursa Tokyo mengawali perdagangan Selasa ini di teritori positif setelah kemarin merilis angka pertumbuhan ekonomi yang cukup melegakan pada kuartal IV-2009. Indeks Nikkei-225 dibuka menguat tipis 29,71 poin (0,30%) ke level 10.043,01.

Berikut rekomendasi saham untuk hari ini:

eTrading Securities:

IHSG pada hari ini berpotensi menguat pada kisaran 2,520 -2,550. Meski kemarin ditutup melemah 16 poin (-0.65%) ke level 2,517.45 namun Asing mencatatkan NET BUY sebesar Rp 1,7 T. Secara teknikal indeks masih berada dalam trend kenaikan, indicator MACD juga telah menunjukan berakhirnya bearish signal. Investor bisa mencermati saham-saham MEDC, HEXA dan ASRI.

Panin Sekuritas:

Pada perdagangan kemarin, transaksi relatif sepi sehubungan dengan libur imlek pada beberapa negara Asia. Nilai transaksi tercatat hanya mencapai Rp2,67T. Sementara hari ini kami perkirakan indeks masih akan bergerak sideways dengan kecenderungan melemah. Belum adanya sentimen positif menyebabkan indeks sulit untuk rally lebih lanjut pasca menembus level 2.500. Hari ini IHSG diperkirakan akan bergerak pada kisaran support-resistance 2.490-2.525.


sumber detik finance

China Berpeluang Miliki Cadangan Emas Terbesar di Dunia

Jakarta - China diprediksi menjadi negara dengan posisi cadangan emas terbesar di dunia. Saat ini posisi cadangan emas China sebanyak 1.159,4 ton.

"Dalam waktu beberapa tahun ke depan, China bisa menjadi negara dengan cadangan emas terbesar di dunia," ujar VP Research & Analyst PT Valbury Asia Futures, Nico Omer Jonchere di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (15/2/2010).

Menurut Nico, saat ini China berada di posisi ke 6 dengan cadangan emas sebanyak 1.159,4 ton. Indonesia berada di posisi 37 dengan cadangan emas sebanyak 73,1 ton.

Swiss berada di posisi 7 dengan cadangan emas sebanyak 1.144,1 ton. Perancis di posisi 5 sebanyak 2.445,1 ton. Italia di posisi ke 4 sebanyak 2.451,8 ton.

International Monetary Fund (IMF) berada di posisi ke 3 dengan cadangan emas sebanyak 3.217,3 ton. IMF baru saja menjual cadangan emasnya sebanyak 403 ton ke India, Mauritius dan Srilanka. Sebelumnya, IMF berada di posisi ke 2.

Posisi ke 2 diduduki oleh Jerman dengan cadangan emas sebanyak 3.408,3 ton. Sedangkan di posisi pertama adalah Amerika Serikat dengan cadangan emas sebanyak 8.133,5 ton.

"Posisi AS ini dipertanyakan banyak orang. Banyak yang mengatakan kalau emas AS sudah hampir habis karena banyak diperdagangkan dengan mekanisme pinjam meminjam dengan pihak lain," ujar Nico.

Menurut Nico, jika China menggunakan seluruh cadangan devisanya yang mencapai US$ 2,2 triliun itu untuk membeli emas, jumlah cadangan emas China bisa langsung bertambah 6.000 ton.

"Tapi mereka tidak melakukan itu. China juga sebelumnya tidak masuk 10 besar. Mereka masuk dengan cara melakukan pembelian emas dari tambang-tambang mereka sendiri," ujarnya.

Nico mengatakan, China saat ini menjadi negara dengan produksi emas terbesar di dunia. Namun emas yang diproduksi negara tersebut kebanyakan dibeli oleh bank sentral untuk meningkatkan cadangan emas mereka.

"Dengan cara ini, pembelian emas oleh bank sentral China tidak mempengaruhi harga pasar. Dan ini mereka lakukan terus. Proyeksi mengatakan dalam beberapa tahun ke depan cadangan emas China bisa menjadi yang terbesar di dunia," jelas Nico.

Selain itu, Nico mengatakan dunia sedang dalam peralihan menuju perburuan emas. Dan menurutya, China pun kini melakukan perubahan budaya masyarakat dalam perburuan emas.

"Pemerintah China sekarang menganjurkann rakyatnya menabung dan membeli produk-produk emas. Mereka sadar bahwa ke depan, emas menjadi salah satu komoditas penting yang menjaga perekonomian. Jadi siapa yang pegang emas akan lebih aman di masa depan," ujarnya.

sumber detik finance

Jumat, 12 Februari 2010

Fed's Bernanke Outlines Steps To Pull Back on Stimulus Plan

Federal Reserve Chairman Ben Bernanke Wednesday detailed how the U.S. central bank will begin to wean the economy off its extraordinary stimulus, even as he stressed it was not yet time to do so.

Bernanke said the Fed would likely begin tightening monetary policy by removing cash from the financial system before it turns to raise benchmark short-term interest rates.

In his most comprehensive description to date of how the Fed aims to dismantle its extensive emergency economic supports, he also said the central bank could soon raise the discount rate it charges banks for emergency loans, but stressed that would not be akin to a tightening in monetary policy.

"Although at present the U.S. economy continues to require the support of highly accommodative monetary policies, at some point the Federal Reserve will need to tighten financial conditions," Bernanke said in remarks prepared for a hearing of the House Financial Services Committee.

The hearing on the Fed's exit strategy was postponed because of heavy snow, but the Fed released Bernanke's prepared remarks.

Some lawmakers have worried the Fed's aggressive stimulus for the economy could spark inflation.

The Fed's willingness to raise the discount rate, which could come before its next policy meeting March 16, signals it believes that financial markets are working better, a precondition for raising interest rates.

The Fed's move toward withdrawing monetary policy accommodation contrasted with the Bank of England, which is contemplating adding more money to Britain's fragile economy.

Bernanke's comments were seen as suggesting the Fed would tighten before the European Central Bank, which is facing debt crisis among some euro-zone countries, boosting the dollar against the euro.

U.S. stock indexes were mostly flat. Big Wall Street firms polled by Reuters last week expect the Fed to raise rates in the final three months of this year. .

The U.S. central bank has pumped more than $1 trillion into the economy after it slashed benchmark rates to near zero to combat the worst financial crisis since the Great Depression. While the economy has grown for the past two quarters, the unemployment rate is at a lofty 9.7 percent.

Bernanke said the outlook for monetary policy currently remains "about the same" as it was at the Fed's last policy meeting on Jan. 26-27, and he repeated the Fed's pledge to hold interest rates exceptionally low for an extended period.

He said the Fed could begin by testing tools to absorb the massive amount of reserves it had pumped into the banking system, such as reverse repurchase agreements and term deposits for banks at the central bank, in small amounts to prepare markets.



As the time to tighten financial conditions drew nearer, the Fed could ramp up reserve-draining operations. Absorbing reserves would give policymakers tighter control over short-term interest rates, Bernanke said.

Ultimately, the Fed would increase the rate it pays on reserves banks hold at the central bank as its way to take its foot off the monetary accelerator pedal. Raising the interest rate on reserves would encourage banks to park funds with the Fed, taking the money out of circulation.

The Fed has greatly expanded its balance sheet with purchases of mortgage-related debt as part of its efforts to revive the economy.
Ben Bernanke
Pablo Martinez Monsivais / ASSOCIATED PRESS
Federal Reserve Bank Chairman Ben Bernanke

Bernanke said the Fed is not likely to sell any of those holdings in the near term, "at least not until after policy tightening has gotten under way and the economy is clearly in a sustainable recovery." However, when the recovery has advanced and more tightening is needed, the Fed could sell securities, Bernanke said.

Any such sales would likely be gradual and markets would receive ample warning, he said.

The Fed will also return its vast array of emergency lending measures to pre-crisis norms, including raising the discount rate and shortening the duration of loans at its emergency lending window, Bernanke said.

The Fed pulled the discount rate closer to the federal funds rate during the severe credit crunch to encourage banks to use it to obtain short-term funding.

Before the crisis hit, the discount rate was 1 percentage point higher than the benchmark borrowing costs. It now stands at 0.5 percent, while the federal funds rate is between zero and 0.25 percent.

With the Fed's balance sheet abnormally large, controlling the federal funds rate can be difficult, Bernanke said.

During the transition, the Fed will likely communicate its policy stance through a combination of the interest paid on reserves and targets for reserve quantities.



Copyright 2010 Reuters.

US Jobless Claims Fell Last Week, Reversing Trend

The number of U.S. workers filing new applications for jobless benefits tumbled last week, a government report showed on Thursday, reversing a recent spike that had raised concerns about renewed labor market weakness.
AP

Initial claims for state unemployment benefits dropped by 43,000 to a seasonally adjusted 440,000 for the week ended Feb. 6, down from a revised 483,000 in the prior week, the Labor Department said.

Analysts polled by Reuters had expected 465,000 initial claims. The prior week was initially reported as 480,000, an

unexpectedly high reading that was blamed in part on a backlog of claims that piled up over the holiday season.

U.S. stock index futures extended gains after the data, while the dollar pared losses versus the yen.

A Labor Department official said that with this latest report, the administrative backlog was largely "washed out."

"By and large we are resuming a normal level with all states reporting an appropriate base level," the official said.



The four-week moving average, which smoothes out week-to-week volatility, fell by 1,000 to 468,500.

"The good news in the claims is that the Labor Department administrators are telling us that they have gotten through a backlog and perhaps the labor market hasn't deteriorated very much in the last two months," said Cary Leahey, senior economist with Decision Economics in New York.

"You can't conclude that the labor market in February will be worse than it was in January."

Investors are keeping a close eye on jobless claims for evidence that the economy is on the verge of adding jobs again.

With the exception of November 2009, payrolls have declined in every month since the recession began in December 2007.

That has piled political pressure on President Barack Obama, whose popularity fell as the jobless rate rose to a 26-year high.

In an economic report released earlier on Thursday, the White House said it expects the economy to create an average of 95,000 jobs a month this year.

However, it said the unemployment rate would probably fall only slowly, and it was concerned about the large number of people out of work for a prolonged period.

The Labor Department's report showed the number of people applying for benefits after an initial week of aid fell to 4.54 million in the week ended Jan. 30, the lowest in 13 months.

That figure is somewhat skewed by the fact that many people have dropped off the rolls because they have exhausted benefits, not because they have found new jobs.


Copyright 2010 Reuters.

US Senate Lawmakers Debut Long-Awaited Jobs Bill

Lawmakers in the Senate released a long-awaited $87 billion bipartisan jobs bill Thursday that relies on business tax breaks and construction projects to bring down the unemployment rate.

Senate Democrats had hoped to pass the bill this week but have been delayed by a record-setting snowstorm that has paralyzed Washington for days. With no votes scheduled for Thursday and a weeklong recess looming, action on the bill is not likely until Feb. 22.

Though there has been little bipartisanship in an often-gridlocked Congress this session, the bill has drawn support from at least two Republican senators, Charles Grassley and Orrin Hatch, as both parties agree action is needed to bring down the 9.7 percent unemployment rate.

In a joint statement, Grassley and Democratic Senator Max Baucus said the bill was only a draft that could change significantly.

"We offer it as the first step in the Senate process for consideration of these time-sensitive proposals," the two lawmakers said.

Despite strong backing from the two top lawmakers on the tax-writing Finance Committee, the bill could face resistance from both the left and the right.



Republican Senator Judd Gregg has blasted as wasteful a provision that would add $19.5 billion to a fund that helps state and local governments pay for highway construction, and his staff released a memo suggesting that he could use budget rules to strip it out of the bill.

Lost Tax Revenue

Meanwhile, many liberals question the effectiveness of one of the elements supported by Republicans: a tax credit for businesses that hire people who have been unemployed for at least 60 days.

That approach would cost between $56,000 and $125,000 in lost tax revenue for every full-time job created, according to the nonpartisan Congressional Budget Office.

The bill differs significantly from a $155 billion jobs bill passed in December by the more liberal House that emphasizes construction spending and aid to cash-strapped states.

Democrats hope to bring down the unemployment rate before the November congressional elections, but they also face a growing voter backlash for the hundreds of billions of dollars in deficit spending approved last year to blunt the impact of the worst recession in 70 years.

Democrats in the Senate also no longer enjoy a supermajority after a surprise Republican victory in the Massachusetts Senate race last month.

The Senate bill relies heavily on tax breaks that would cost the government $79 billion in lost revenue over 10 years.

The entire bill's $125 billion cost would be offset by $38 billion in new tax revenue from paper mills and offshore tax havens.

Unrelated elements such as an extension of the anti-terrorist Patriot Act and a move to stave off scheduled cuts in Medicare reimbursement rates also drive up the tab.
Copyright 2010 Reuters.

Wall St.’s Biggest Bonuses Go to Not-So-Big Names

The list of the biggest earners in finance usually reads like a Who’s Who of Wall Street. But these days, it reads more like a Who’s That?

It turns out that some of the highest-paid financial executives in America work far from the canyons of Lower Manhattan, at companies that have largely avoided the outcry over the return of hefty paydays on Wall Street.

Topping the list is John G. Stumpf, head of Wells Fargo [WFC 27.08 -0.10 (-0.37%) ] , the bank based in San Francisco, according to an analysis of 2009 compensation in the industry. Mr. Stumpf was paid a personal best of $18.7 million in cash and stock for 2009 — up 64 percent from 2007, just before the financial crisis struck.

Mr. Stumpf is making twice as much as Lloyd C. Blankfein, his counterpart at Goldman Sachs [GS 154.01 0.38 (+0.25%) ]. Mr. Blankfein — who for many Americans has come to symbolize this new period of Wall Street riches — was paid $9.7 million for 2009, less than some expected.

It is a stunning reversal in the old pecking order of pay. Big names on Wall Street like Mr. Blankfein usually take home far more than staid bankers like Mr. Stumpf, whose bank’s biggest business is making home mortgages and loans to corporations.

But since the bailout, the rules of banker pay are bending. Some of the industry’s biggest names are being paid less than relative unknowns. Chief executives, who are usually at the top of the pay heap, are taking home roughly the same amounts as executives who work for them — and sometimes less.

Mr. Stumpf and other executives have moved up the pay ladder partly because the likes of Mr. Blankfein have moved down. And for all the focus on what top executives earn, what is most startling is how many six-, seven- and eight-figure sums are being awarded to Wall Street bankers and traders whose pay often is unnoticed — if it is disclosed at all.



How much senior executives earn, in cash and stock, is made public in corporate filings. This year, the results are surprising, according to an analysis by Equilar, an executive compensation research firm.

Leaders in the pay sweepstakes include the heads of the credit card giants Visa, Mastercard Worldwide, Capital One Financial and American Express. Joseph W. Saunders, who runs Visa, was paid about $15.5 million, a figure that vastly eclipses the compensation for top executives at Bank of America and Citigroup.

Ajay Banga, the president of MasterCard Worldwide; Laurence D. Fink, the chairman and chief executive of the giant money management company BlackRock; and Richard B. Handler, the boss at the Jefferies Group, a midsize investment bank that is virtually unknown outside financial circles, were each paid about $13 million. Executives at certain discount brokerages, insurance companies and regional banks were close behind.

The big money, as ever, is in Wall Street trading. But pay for employees with few executive responsibilities is typically exempted from disclosure requirements. Brokers and asset managers also land windfalls that are often undisclosed.

“There are probably thousands of people that are in the Millionaire Club — or even the Ten Millionaire Club — that have gotten no heat,” said Alan Johnson, a longtime Wall Street compensation consultant.

To be sure, a handful of prominent companies dominate the well-paid list. Senior managers from JPMorgan Chase and Goldman Sachs occupy many of the top spots. Few of those executives are boldface names, however.

While Jamie Dimon, JPMorgan’s chairman and chief executive, appears to be the second-highest-paid banker, at $17.6 million, one of his subordinates collected nearly as much: Ina R. Drew, JPMorgan’s chief investment officer.

Ms. Drew, whose correct calls on interest rates helped the bank earn several billion dollars of profit, was paid about $13 million.

Despite the spotlight on Mr. Blankfein’s pay at Goldman, little was said about how much Gordon Nixon of Royal Bank of Canada received. His paycheck was roughly the same amount as Mr. Blankfein’s, $9.7 million, though he is hardly a household name.

The Equilar analysis provides an early peek at 2009 pay and is not a comprehensive review. For consistency, any stock or options that were subject to performance hurdles were valued at the target levels; in practice, many executives receive larger payouts for surpassing the company’s financial goals.



Wells Fargo posted strong results, even as it struggled to contend with rising mortgage and commercial real estate losses and accepted a bailout from the government in 2008.

As it rebounded last year, the bank dribbled out the details of its large stock grants for Mr. Stumpf. In August, Wells announced that he would receive $900,000 in salary and about $6.5 million in various types of restricted stock. On New Year’s Eve, Wells issued a statement saying that Mr. Stumpf would receive another allotment of so-called performance shares — worth up to $15.4 million.

That means his pay package could easily top $24 million in a year in which Wells was among the last of the big banks to repay the bailout money.

“We believe we have the very best leadership team in financial services today, and a key to retaining that talent for the long term is to compensate our senior leaders competitively and to align their interests with those of our shareholders,” Stephen W. Sanger, who leads Wells Fargo’s compensation committee, said in a statement last December.

On pay, Wall Street seems to have reverted to its old ways. James P. Gorman, Morgan Stanley’s new chief executive, could receive $11 million to $13 million, even though the company posted an annual loss.

Mark Lake, a Morgan Stanley spokesman, said that Mr. Gorman received that compensation because, as president, he was responsible for integrating the vast Smith Barney brokerage unit and was the prospective chief executive.

Bank of America’s highest-paid executive was the chief architect of its ill-fated acquisition of Merrill Lynch, Gregory L. Curl. He was awarded more than $9.2 million in stock, most of which will be paid out monthly over the next three years.

Brian T. Moynihan, Bank of America’s new chief executive, will be paid about $6.1 million, thanks to a similar large stock grant.

Jefferies Group, a midsize investment bank that had a strong year, rewarded its top executives handsomely. And more pay is coming down the pike. In mid-January, Mr. Handler received a $39 million stock grant and another executive received about $29 million. The stock award, subject to certain performance goals, is payable over the next three years and will come on top of any salary and bonuses the executives get.

One of the highest-compensated financial executives for 2009 was paid well when he was employed — and then even more when he quit. After leaving Visa in July, Hans Morris, the company’s president, collected an exit package valued at $24 million.

“The ride is essentially over, and he is still getting grants,” said Brian Foley, an independent compensation consultant.

by cnbc and new york times

Wall St.’s Biggest Bonuses Go to Not-So-Big Names

The list of the biggest earners in finance usually reads like a Who’s Who of Wall Street. But these days, it reads more like a Who’s That?

It turns out that some of the highest-paid financial executives in America work far from the canyons of Lower Manhattan, at companies that have largely avoided the outcry over the return of hefty paydays on Wall Street.

Topping the list is John G. Stumpf, head of Wells Fargo [WFC 27.08 -0.10 (-0.37%) ] , the bank based in San Francisco, according to an analysis of 2009 compensation in the industry. Mr. Stumpf was paid a personal best of $18.7 million in cash and stock for 2009 — up 64 percent from 2007, just before the financial crisis struck.

Mr. Stumpf is making twice as much as Lloyd C. Blankfein, his counterpart at Goldman Sachs [GS 154.01 0.38 (+0.25%) ]. Mr. Blankfein — who for many Americans has come to symbolize this new period of Wall Street riches — was paid $9.7 million for 2009, less than some expected.

It is a stunning reversal in the old pecking order of pay. Big names on Wall Street like Mr. Blankfein usually take home far more than staid bankers like Mr. Stumpf, whose bank’s biggest business is making home mortgages and loans to corporations.

But since the bailout, the rules of banker pay are bending. Some of the industry’s biggest names are being paid less than relative unknowns. Chief executives, who are usually at the top of the pay heap, are taking home roughly the same amounts as executives who work for them — and sometimes less.

Mr. Stumpf and other executives have moved up the pay ladder partly because the likes of Mr. Blankfein have moved down. And for all the focus on what top executives earn, what is most startling is how many six-, seven- and eight-figure sums are being awarded to Wall Street bankers and traders whose pay often is unnoticed — if it is disclosed at all.



How much senior executives earn, in cash and stock, is made public in corporate filings. This year, the results are surprising, according to an analysis by Equilar, an executive compensation research firm.

Leaders in the pay sweepstakes include the heads of the credit card giants Visa, Mastercard Worldwide, Capital One Financial and American Express. Joseph W. Saunders, who runs Visa, was paid about $15.5 million, a figure that vastly eclipses the compensation for top executives at Bank of America and Citigroup.

Ajay Banga, the president of MasterCard Worldwide; Laurence D. Fink, the chairman and chief executive of the giant money management company BlackRock; and Richard B. Handler, the boss at the Jefferies Group, a midsize investment bank that is virtually unknown outside financial circles, were each paid about $13 million. Executives at certain discount brokerages, insurance companies and regional banks were close behind.

The big money, as ever, is in Wall Street trading. But pay for employees with few executive responsibilities is typically exempted from disclosure requirements. Brokers and asset managers also land windfalls that are often undisclosed.

“There are probably thousands of people that are in the Millionaire Club — or even the Ten Millionaire Club — that have gotten no heat,” said Alan Johnson, a longtime Wall Street compensation consultant.

To be sure, a handful of prominent companies dominate the well-paid list. Senior managers from JPMorgan Chase and Goldman Sachs occupy many of the top spots. Few of those executives are boldface names, however.

While Jamie Dimon, JPMorgan’s chairman and chief executive, appears to be the second-highest-paid banker, at $17.6 million, one of his subordinates collected nearly as much: Ina R. Drew, JPMorgan’s chief investment officer.

Ms. Drew, whose correct calls on interest rates helped the bank earn several billion dollars of profit, was paid about $13 million.

Despite the spotlight on Mr. Blankfein’s pay at Goldman, little was said about how much Gordon Nixon of Royal Bank of Canada received. His paycheck was roughly the same amount as Mr. Blankfein’s, $9.7 million, though he is hardly a household name.

The Equilar analysis provides an early peek at 2009 pay and is not a comprehensive review. For consistency, any stock or options that were subject to performance hurdles were valued at the target levels; in practice, many executives receive larger payouts for surpassing the company’s financial goals.



Wells Fargo posted strong results, even as it struggled to contend with rising mortgage and commercial real estate losses and accepted a bailout from the government in 2008.

As it rebounded last year, the bank dribbled out the details of its large stock grants for Mr. Stumpf. In August, Wells announced that he would receive $900,000 in salary and about $6.5 million in various types of restricted stock. On New Year’s Eve, Wells issued a statement saying that Mr. Stumpf would receive another allotment of so-called performance shares — worth up to $15.4 million.

That means his pay package could easily top $24 million in a year in which Wells was among the last of the big banks to repay the bailout money.

“We believe we have the very best leadership team in financial services today, and a key to retaining that talent for the long term is to compensate our senior leaders competitively and to align their interests with those of our shareholders,” Stephen W. Sanger, who leads Wells Fargo’s compensation committee, said in a statement last December.

On pay, Wall Street seems to have reverted to its old ways. James P. Gorman, Morgan Stanley’s new chief executive, could receive $11 million to $13 million, even though the company posted an annual loss.

Mark Lake, a Morgan Stanley spokesman, said that Mr. Gorman received that compensation because, as president, he was responsible for integrating the vast Smith Barney brokerage unit and was the prospective chief executive.

Bank of America’s highest-paid executive was the chief architect of its ill-fated acquisition of Merrill Lynch, Gregory L. Curl. He was awarded more than $9.2 million in stock, most of which will be paid out monthly over the next three years.

Brian T. Moynihan, Bank of America’s new chief executive, will be paid about $6.1 million, thanks to a similar large stock grant.

Jefferies Group, a midsize investment bank that had a strong year, rewarded its top executives handsomely. And more pay is coming down the pike. In mid-January, Mr. Handler received a $39 million stock grant and another executive received about $29 million. The stock award, subject to certain performance goals, is payable over the next three years and will come on top of any salary and bonuses the executives get.

One of the highest-compensated financial executives for 2009 was paid well when he was employed — and then even more when he quit. After leaving Visa in July, Hans Morris, the company’s president, collected an exit package valued at $24 million.

“The ride is essentially over, and he is still getting grants,” said Brian Foley, an independent compensation consultant.

by cnbc and new york times

Wall Street Melesat Berkat Yunani

Saham-saham di bursa Wall Street langsung melesat setelah mendengar kabar Yunani akan segera mendapatkan pertolongan untuk menangani utangnya, sekaligus menghindarkan kawasan Eropa dari krisis.

Uni Eropa telah memberikan komitmennya untuk mendukung Yunani mengatasi utangnya sehingga terhindar dari kebangkrutan.

"Mereka (Uni Eropa) sepertinya menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dan pasar bereaksi dengan baik karena ada rencana. Mari kita lihat bagaimana mereka mengimplementasikannya," ujar Stephen Carl, analis dari Williams Capital seperti dikutip dari Reuters, Jumat (12/2/2010).

Pada perdagangan Kamis (11/2/2010), indeks Dow Jones ditutup menguat 105,81 poin (1,05%) ke level 10.144,19. Indeks Standard & Poor's 500 juga menguat 10,35 poin (0,97%) ke level 1.078,47 dan Nasdaq menguat 29,54 poin (1,38%) ke level 2.177,41.

Berita dari China turut memeriahkan kenaikan saham-saham pertambangan dan material. China yang merupakan konsumen logam-logam dasar melaporkan lonjakan kredit dan inflasi yang mereda, menggambarkan perekonomian yang berada pada jalurnya. Saham Alcoa melonjak 3,2%, US Steel Corp naik 6%, Newmont Mining naik 3,2%. Indeks Material S&P menguat 1,6%.

Saham produsen rokok, Philip Morris International Inc menguat 4% setelah melaporkan laba yang melebihi ekspektasi pada kuartal IV-2009.

Namun perdagangan masih sangat tipis, dengan transaksi di New York Stock Exchange hanya 1,08 miliar, di bawah rata-rata tahun lalu sebanyak 2,18 miliar. Di Nasdaq, transaksi mencapai 2,15 miliar, di atas rata-rata tahun lalu yang mencapai 1,63 miliar.

sumber detik finance

Obligasi Korporasi Rp 10-15 Triliun Siap Hadir di 2010

Jakarta - Sebanyak 5-7 perusahaan akan segera menerbitkan obligasi dengna nilai antara Rp 10-15 triliun pada tahun 2010 ini. Mereka terpantau telah masuk dalam daftar pemeringkatan yang dilakukan PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo).

Selain itu, terdapat pula lima Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang juga siap keluarkan obligasi, dengan nilai masing-masing Rp 500 miliar hingga Rp 1 triliun.

Demikian disampaikan Direktur Pefindo Salyadi Saputra saat ditemui di hotel Nikko Jalan MH Thamrin Jakarta Kamis (11/2/2010) malam.

"Ada sekitar 5-7 emiten yang siap keluarkan obligasi dan telah masuk ke kita. Total nilai sekitar Rp 10-15 triliun," katanya.

Saputra menjelaskan, emiten yang kemungkinan besar siap menerbitkan obligasi adalah PT Bank Tabungan Negara Tbk. (BBTN), dengan nilai Rp 1,5 triliun. Ada pula PT Bank Permata Tbk, dengan bentuk obligasi Subdebt dengan nilai Rp 600-700 miliar.

"BTN mungkin akan terbit pada kuartal II. Permata juga akan terbit, Rp 600-700 miliar, tapi subdebt," ucap Saputra.

Ditambahkanya, Perum Pegadaian (Persero) juga yang akan terbitkan Medium Term Note (MTN) dengan jumlah emisi kurang dari Rp 1 triliun.

"Jika dari finance company, nilai total sekitar Rp 2 triliun. Detailnya belum bisa sampaikan," tegasnya.

Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga siap kembali terbitkan obligasi tahun 2010. "PLN mungkin ada, sekitar Rp 1,5-2 triliun. Akan terlaksana pada semester I ini," papar Direktor Pefindo Yose Rizal usai malam anugerah Pefindo Award.

Perusahaan lain yang telah dirating Pefindo, terdapat PT Indosat Tbk (ISAT), dengan rencana penerbitan obligasi dolar AS sekitar US$ 750 juta. Untuk obligasi Pertamina (Persero) sendiri, belum ada angka pasti atas nilai emisinya. Namun kemungkinan besar akan bermata uang dolar AS.

Dilain pihak juga telah siap lima BPD yang mengantri untuk menerbitkan obligasi tahun ini. Mereka berasal dari Jawa, Sumatera dan ada lagi asal Nusa Tenggara. Bank DKI dipastikan akan luncurkan obligasi mereka sebesar Rp 700 miliar. Untuk BPD Nusa Tenggara Barat (NTB), obligasi diperkirakan Rp 300-500 miliar.

"Rata-rata yang lain nilainya sekitar minimal Rp 500 miliar, maksimal Rp 1 triliun. Dana dari lima BPD minimal akan terhimpun Rp 2,5 triliun," imbuh Saputra.

sumber detik.com

Pengikut